Suara shalawat malam itu masih samar-samar terdengar. Malam Minggu di pesantren seharusnya terasa hangat dipenuhi lantunan barzanji yang membuat hati tenang. Namun malam itu, suara merdu itu justru terasa seperti dengungan jauh yang terisolasi, seolah ada lapisan tipis yang memisahkan kamarku dengan dunia luar.
Aku sedang sakit. Badanku panas tinggi sejak siang. Semua teman sekamar pergi ke mushola, meninggalkan aku tergeletak sendirian. Kamar ini bekas ruang kelas yang disulap jadi tempat tidur santri kini terasa jauh lebih besar dan dingin dari biasanya.
Lampu neon di langit-langit bergetar dan berkelap-kelip. Cahaya redup itu menciptakan bayangan aneh di setiap sudut. Aku menarik selimut tebal, mencoba menekan denyutan di kepala dan keringat dingin yang menetes di pelipis. Ketika mata hampir terpejam, suara itu datang.
Langkah kaki. Pelan, tapi berat dan menyeret.
Tok... tok... tok...
Suaranya berhenti tepat di depan pintu. Aku mengira itu teman yang lupa sesuatu. Tapi, tidak ada salam. Tidak ada ketukan yang jelas. Hanya keheningan yang tiba-tiba mencekik.
Daun pintu kayu itu berderit pelan, terbuka hanya selebar jari. Dari celah sempit itu, bulu kudukku langsung berdiri tegak. Aku melihatnya.
Seseorang berdiri di sana. Posturnya tegap, dibalut sarung lusuh dan baju koko kelabu. Namun, kengerian sejati muncul ketika aku mencoba mencari wajahnya.
Kepalanya tidak ada.
Jantungku melonjak dan menghantam rusuk sekuat-kuatnya. Suara shalawat dari mushola seakan menghilang, ditelan oleh keheningan mutlak. Aku memaksa diri meyakini: Ini pasti mimpi. Aku halu karena demam tinggi.