Mohon tunggu...
Berliani November
Berliani November Mohon Tunggu... Mahasiswa : komunikasi

Tak sekadar menulis, tapi mencoba memahami dunia lewat kata.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Viral! Biaya Produksi Merah Putih Hanya Seharga Traktiran Warteg

24 Agustus 2025   20:51 Diperbarui: 24 Agustus 2025   20:51 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
One for All, yang menampilkan karakter anak-anak dari berbagai latar budaya Indonesiasumber CNA.id: Berita Indonesia, Asia dan Dunia

Jakarta - Dunia perfilman tanah air tengah diguncang kabar mengejutkan. Film animasi Merah Putih: One for All, yang sempat digadang-gadang berbudget hingga Rp 6,7 miliar, ternyata menurut klaim animatornya hanya dibuat dengan biaya sekitar Rp 1 juta. Fakta ini diungkapkan langsung oleh salah satu animator dalam sebuah unggahan yang beredar di media sosial dan menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan netizen.

Awal Mula Kontroversi

Kabar bahwa film ini memiliki dana produksi fantastis pertama kali mencuat lewat unggahan kolaborasi antara akun MovReview, akun resmi film, dan produser eksekutif Sonny Pudjisasono. Disebutkan bahwa biaya produksinya mencapai Rp 6,7 miliar angka yang membuat publik berekspektasi tinggi terhadap kualitas animasinya.

Namun, ketika film ini tayang di bioskop, banyak penonton justru mempertanyakan kualitas gambar, pengisian suara (dubbing), dan jalan cerita yang dinilai sederhana. Kekecewaan itu memicu gelombang kritik di media sosial.

Di tengah ramainya komentar negatif, muncullah klarifikasi dari salah satu animator film ini. Ia mengaku, informasi soal budget miliaran rupiah itu tidak benar.


"Budget yang katanya Rp 6,7 miliar itu tidak benar. Yang benar cuma Rp 1 juta, untuk traktir teman-teman dubber makan di warteg," tulisnya di unggahan yang kini viral.

Kondisi Produksi yang Jauh dari Ideal

Dalam pengakuannya, sang animator membeberkan bahwa proses dubbing tidak dilakukan di studio profesional, melainkan di kos-kosan. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada dana sedikitpun dari pemerintah dalam pembuatan film ini.

Film ini, katanya, dibuat dengan waktu produksi sangat singkat hanya tiga bulan dengan sistem kerja SKS (Sistem Kebut Semalam) demi mengejar momentum penayangan saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Kisah dalam film yang menampilkan adegan bendera hilang pun ternyata terinspirasi dari pengalaman pribadi sang animator saat mengikuti kegiatan pramuka. "Waktu pramuka, saya disuruh kakak pembina nyari bendera yang disembunyiin untuk menguji nasionalisme," ujarnya.

Soal Aset Visual dan Tuduhan Kemiripan

Isu lain yang sempat muncul adalah kemiripan beberapa karakter dalam film ini dengan karakter internasional dari waralaba terkenal. Menanggapi hal itu, animator menyebut bahwa aset-aset tersebut sudah ia kumpulkan selama bertahun-tahun untuk berbagai proyek animasi pribadinya, dan kali ini digunakan kembali untuk Merah Putih: One for All.

Bantahan dari Produser dan Kemenparekraf

Produser sekaligus sutradara Yuli Endiarto membantah klaim bahwa film ini menghabiskan dana Rp 6,7 miliar. Menurutnya, film ini adalah hasil kerja gotong-royong para kreator tanpa dukungan dana besar.

Kemenparekraf melalui Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar juga memastikan bahwa pihaknya tidak memberikan bantuan finansial maupun promosi kepada proyek ini.

"Kemenparekraf tidak terlibat dalam pembiayaan maupun fasilitasi promosi film ini," tegas Irene, seperti dikutip dari Liputan6.com.

Pertanyaan Publik: Transparansi dan Standar Produksi

Fakta bahwa ada perbedaan besar antara klaim awal dan pengakuan tim teknis memunculkan pertanyaan publik soal transparansi industri film animasi Indonesia. Di satu sisi, semangat low budget high spirit patut diapresiasi karena menunjukkan kerja keras kreator lokal.

Namun, di sisi lain, klaim budget miliaran tanpa bukti jelas bisa merusak kepercayaan penonton, terutama jika kualitas tidak sebanding dengan ekspektasi yang dibangun.

Dampak pada Reputasi

Kontroversi ini membuat Merah Putih: One for All menjadi salah satu film animasi Indonesia paling banyak dibicarakan di tahun ini bukan karena prestasi teknis, melainkan karena perdebatan mengenai dana, proses produksi, dan hasil akhir.

Sejumlah pemerhati perfilman bahkan menganggap kasus ini bisa menjadi pelajaran penting soal pentingnya keterbukaan informasi dalam produksi karya kreatif.

Kasus Merah Putih: One for All membuka diskusi luas tentang realitas industri animasi Indonesia. Dengan dana minim, para kreator tetap berusaha menghadirkan karya untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan. Namun, perbedaan besar antara klaim awal dan kenyataan produksi menjadi catatan penting baik untuk pembuat film maupun publi tentang arti transparansi, profesionalitas, dan manajemen ekspektasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun