Malam minggu bukan hanya milik pasangan kekasih. Buatku, malam minggu adalah momen untuk menyapa diri sendiri, bersantai dari penatnya kuliah dan rutinitas harian. Dan tempat yang selalu sukses menyulap malam mingguku jadi spesial adalah Puncak Sosok. Terletak di Bawuran, Pleret, Bantul, tempat ini bukan sekadar bukit biasa ia adalah panggung alam dengan alunan musik, bintang di langit, dan cita rasa lokal yang bikin hati hangat.
Pertama kali aku ke Puncak Sosok adalah karena ajakan teman. Katanya, "Kamu harus ke sana. Ada live musik akustik dan suasananya chill banget." Awalnya aku kira itu cuma tempat nongkrong biasa, tapi begitu sampai di sana saat malam minggu, aku langsung jatuh cinta.
Begitu kaki menapak di area utama Puncak Sosok, pemandangan lampu-lampu kota Jogja menyambutku dari kejauhan. Dari atas bukit ini, Jogja terlihat seperti lautan cahaya yang berkelip pelan. Angin sepoi-sepoi berhembus, menyapu peluh dan beban pikiran. Rasanya seperti duduk di pelukan alam.
Tapi bukan cuma pemandangannya yang bikin aku betah. Setiap malam minggu, area Puncak Sosok berubah jadi panggung kecil nan hangat, dengan live musik akustik yang disajikan oleh musisi lokal. Mereka bukan nama besar di industri musik, tapi jangan salah suara mereka bisa bikin merinding. Ada yang membawakan lagu-lagu lawas, ada yang menyanyikan tembang kekinian, bahkan kadang ada juga yang nyanyi lagu daerah dengan aransemen baru.
Yang aku suka, interaksi antara musisi dan penonton di sini sangat cair. Kadang mereka mengajak penonton nyanyi bareng, kadang juga menerima request lagu. Aku pernah request lagu Payung Teduh, dan mereka bawain dengan gaya mereka sendiri. Rasanya seperti berada di konser kecil yang privat, tapi tanpa tiket mahal.
Sambil duduk menikmati musik, tentu saja tangan ini tak bisa diam. Ada banyak pilihan makanan di warung-warung kecil yang berjajar rapi. Mulai dari jagung bakar, sosis bakar, mie nyemek, sampai nasi goreng, semua tersedia dengan harga yang ramah di kantong mahasiswa. Bayangin aja, dengan uang 10 ribu sampai 15 ribu, aku udah bisa makan kenyang sambil ditemani teh hangat dan alunan lagu-lagu akustik.
Yang membuat Puncak Sosok makin istimewa adalah suasana yang inklusif. Di sini, kamu bisa menemukan anak muda, keluarga, hingga wisatawan asing duduk berdampingan, sama-sama menikmati malam. Nggak ada batasan. Semuanya terasa ringan dan penuh tawa. Kadang aku duduk sendirian pun tetap merasa ditemani, karena suasananya hangat dan bersahabat.
Dan malam minggu memang waktu terbaik. Biasanya, pengunjung mulai ramai sejak pukul 5 sore. Banyak yang datang untuk menikmati sunset dulu. Matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala Jogja, menyisakan warna jingga yang memantul di langit. Lalu, saat malam mulai turun, lampu-lampu menyala dan gitar mulai dipetik.
Di satu sudut, ada pula jalur sepeda gunung yang digunakan siang hari. Tapi malamnya, area itu berubah jadi tempat duduk yang sejuk dan agak tersembunyi, cocok buat yang pengin suasana lebih tenang. Kadang aku ke situ kalau ingin menikmati musik dari kejauhan sambil menulis atau sekadar merenung.
Pernah suatu malam minggu, aku bertemu sekelompok mahasiswa dari luar kota. Mereka bilang baru pertama kali ke Jogja dan direkomendasikan Puncak Sosok oleh warga lokal. "Jogja memang nggak pernah gagal," kata salah satu dari mereka. Aku setuju. Tempat ini seperti miniatur keramahan Jogja alami, bersahaja, tapi meninggalkan kesan mendalam.
Oh ya, akses ke Puncak Sosok sekarang juga sudah cukup baik. Jalan menuju ke atas memang agak menanjak dan sempit, tapi asalkan hati-hati, motor dan mobil bisa naik. Parkirannya luas dan dikelola dengan baik oleh warga sekitar. Ini yang aku suka tempat wisata ini dikelola bareng-bareng oleh warga, sehingga nuansanya bukan sekadar bisnis, tapi juga gotong royong dan kebersamaan.