Mohon tunggu...
Hukum

Mahfud MD dan Persoalan Kepastian Hukum di Indonesia

13 Juli 2018   13:25 Diperbarui: 13 Juli 2018   13:50 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari minggu ke minggu, perhatian publik pada kasus BLBI semakin tinggi. Terlebih setelah kasus ini ditayangkan di salah satu televisi swasta pekan lalu. Satu hal menarik terjadi terkait dengan kasus tersebut. Kali ini seperti yang ditulis RMOL, Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD urun pendapat.

Kalau ada pidananya itu tindak pidana tersendiri kepada pelakunya, tetapi bagi yang terlibat dalam sebuah perjanjian yang resmi sepertitax amnesty, BLBI sebenarnya dan seharusnya sudah selesai secara hukum," kata Mahfud kepada wartawan usai menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial dan Budaya Indonesia-Tiongkok (LIC) di Jakarta, Kamis (12/7).

Mahfud menambahkan dalam hukum ada tiga prinsip yang harus dijadikan pegangan yakni, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Nah ketiga prinsip itu harus bersinergi. Menurut Mahfud suatu kepastian hukum kalau tidak adil bisa diuji di pengadilan. Akan tetapi, prinsipnya sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum maka dia tidak bisa dibatalkan.

Mahfud MD mengatakan perjanjian resmi seharusnya menjamin kepastian hukum. Pendapat ini mau tidak mau membawa kita untuk melihat adanya masalah besar, soal kepastian hukum dalam kasus gugatan BLBI. Jika sebuah surat keputusan yang resmi ditetapkan bisa digugat, apa kepastian hukum yang bisa kita pegang? 

Masih berfokus pada pendapat Mahfud MD, keadilan dan kepastian hukum memang selalu jadi dua kutub yang tarik-menarik dalam masalah penegakan keputusan hukum. Terlebih jika kepastian hukum dikeluarkannya dari sebuah kebijakan. Langkah yang dianggap adil, apakah memberikan kepastian hukum? 

Nahasnya, bagi pengusaha, kepastian hukum adalah segalanya. Kepastian hukum menjadi motivasi bagi pengusaha menanamkan modalnya di iklim bisnis Indonesia. Tanpa kepastian hukum, pengusaha merasa investasinya tidak memiliki jaminan keamanan. Kepastian hukum menjamin pengusaha serta memberi semua pihak kerangka kerja untuk beraksi dan menjalankan fungsinya. Kepastian hukum juga yang menjamin masyarakat, pelaku bisnis, dan pemerintah bertanggung jawab dan harus mempertanggung jawabkan langkah yang mereka lakukan.

Ketidakpastian hukum yang muncul mengekor dipersoalkannya SKL BLBI telah coba ditekankan oleh Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Seperti yang diturunkan oleh MSN, Apindo mempertanyakan kredibilitas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diketahui mengeluarkan audit investigatif pada 2017 tanpa ada persetujuan dari pihak yang terperiksa, dalam hal ini mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

"Kok bisa BPK ini mengeluarkan hasil audit investigatif tanpa ada auditeenya, tanpa ada yang terperiksa. Itu kan jadi pertanyaan semua orang karena menyalahi prinsip utama dari pemeriksaan dimana orang yang diperiksa mesti dikonfirmasi terlebih dahulu," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani kepada wartawan, di Jakarta, Ahad (3/5).

Di kalangan pengusaha Apindo, Hariyadi melanjutkan, penyelesaian kasus BLBI sudah menjadi preseden karena ada perlakuan hukum yang tidak sama antara para penerima SKL. "Ini selalu menjadi pembicaraan di kalangan pengusaha, sebenarnya kasusnya seperti apa sih? Kasus yang sama, satunya sudah beres, tapi yang satu lagi tidak pernah selesai?" ujar Hariyadi.

Pertanyaan Hariyadi ini tentu bisa kita mengerti. Mengapa pihak pengusaha tidak diminta konfirmasi? Bagaimana kerangka penyelesaian masalah ini seharusnya? Tanpa peraturan dan kepastian langkah hukum, dunia usaha akan chaos. Dalam kasus ini, salah satu contohnya terungkap pada pemberitaan mengenai kasus BLBI akhir Juni lalu, BPPN (melalui Farid Harianto) ternyata tidak pernah mengajukan gugatan ke pengadilan atas klaim gugatan BPPN pada pemegang saham BDNI (PS BDNI). Mengapa BPPN sendiri tidak pernah membawa masalah ini ke pengadilan. Padahal langkah ini merupakan langkah legitimate yang "direstui" di perjanjian MSAA. Langkah yang resmi sudah dicantumkan dalam perjanjian, kenapa tidak dilakukan? Demi kepastian hukum, mestinya langkah gugatan ke pengadilan inilah yang dilakukan pertama kali oleh BPPN.

Kita tidak akan tahu bagaimana suatu pihak mengambil sikap terhadap situasi tertentu dan semua pihak yang tidak terlindungi hukum mudah dimanfaatkan pihak lain. Dalam kasus BLBI, SKL BLBI menyediakan stabilitas, sehingga penerima SKL memiliki posisi yang terjamin dalam lingkungan yang memiliki berubah dengan cepat. 

Pengusaha resah, kalau sebuah SKL yang dikeluarkan dengan dasar Inpres, rekomendasi badan pemerintah terkait, serta audit dari lembaga yang terlegitimasi saja bisa dipersoalkan, bagaimana dengan tax amnesty yang telah dilakukan pemerintah Jokowi? 

Bukan tidak mungkin peserta tax amnesty mengalami hal yang sama dengan obligor BLBI. Di masa depan pemerintah bisa mempermasalahkan tax amnesty yang sudah diikuti pengusaha walau pemerintah Jokowi mengatakan pengampunan pajak saat ini dan telah mendapatkan surat keterangan memiliki kepastian hukum lantaran tax amnesty didasari undang-undang. 

Pemerintah kini bisa menjamin, tetapi mengingat ada banyak hal yang bisa saja terjadi di masa depan, jaminan ini berubah, hilang, atau dipermasalahkan kembali. Sebab, bukankah secara garis besar, ini pulalah yang terjadi pada obligor BLBI?

Penulis adalah pengamat media

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun