Duka Palestina makin mendalam. Pasukan Israel terus menargetkan warga Palestina yang menunggu makanan. Rumah sakit kesulitan menangani korban luka. Data Kementerian Kesehatan Palestina pada Rabu, 2 Juli 2025 menunjukkan bahwa 57.012 orang telah meninggal sejak Oktober 2023. Sedangkan korban luka akibat serangan zionis laknatullah mencapai 134.592 orang. Data ini hanya untuk korban yang terindentifikasi saja, masih banyak korban yang tidak terjangkau tim penyelamat karena masih terperangkap di bawah reruntuhan bangunan.
Para demonstran di berbagai belahan dunia ditangkap pemerintah setempat. Misalnya saja, polisi di Jerman menangkap secara brutal demonstran pro Palestina di Berlin. Mereka mengibarkan bendera Palestina dan mengenakan keffiyeh, menuntut penghentian pembantaian Israel terhadap rakyat Gaza. Di Inggris, terdapat larangan terhadap Palestine Action, yang menurut undang-undang dapat disebut tindak pidana dan dihukum hingga 14 tahun penjara.
Sungguh memprihatinkan melihat kondisi ini. Saudara kita terus dijajah entah sampai kapan. Tanah mereka direbut oleh Zionis dan nyawa mereka dilenyapkan. Kebanyakan korban adalah perempuan dan anak-anak. Mirisnya, di saat kondisi genosida brutal ini, para penguasa muslim malah melakukan pengkhianatan.
Presiden AS, Donald Trump, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengadakan kesepakatan tentang gencatan senjata yang akan dilaksanakan dalam dua pekan ke depan, sejak Kamis (26-6-2025). Tujuan kesepakatan ini adalah mempercepat dialog dengan negara-negara Arab sebagai bagian dari perluasan Abraham Accords.
Abraham Accords merupakan serangkaian perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab (Uni Emirat Arab, Maroko, Bahrain, Sudan) dan diperluas dengan tambahan Arab Saudi dan Suriah. Perjanjian tersebut menegaskan bahwa negara muslim yang menandatanganinya akan membangun hubungan diplomatik dengan Israel dan mengakhiri radikalisasi dan konflik. Perjanjian ini difasilitasi oleh AS di bawah pemerintahan Trump.
Poin-poin kesepakatan terkait gencatan senjata tersebut antara lain, perang di Gaza akan berakhir dalam dua pekan dengan syarat masuknya empat negara Arab, termasuk Mesir dan Uni Emirat Arab, untuk menggantikan Hamas dalam memerintah jalur Gaza. Warga Gaza yang beremigrasi (baca: diusir) akan ditampung di beberapa negara Arab. Negara-negara Arab yang bersepakat akan mengakui Israel dan menjalin hubungan diplomatik. Israel menyatakan kesediannya atas solusi jangka panjang konflik dengan pendekatan two state solution, menyediakan reformasi dalam Otoritas Palestina. AS juga akan mengakui kedaulatan Israel di Tepi Barat.
Demi memperoleh keuntungan material, yaitu kekuasaan, ekonomi, dukungan politik, dan keamanan dari AS, para penguasa muslim itu tega mengkhianati saudaranya sendiri. Darah umat Islam yang membanjiri Gaza tak membuat hati mereka terbuka. Bantuan kemanusiaan yang mereka bangga-banggakan tidak lebih dari pelipur lara yang penuh retorika. Mereka enggan mengerahkan kekuatan militer dan keberpihakan strategis yang justru dibutuhkan oleh saudara kita. Rakyat Gaza butuh tindakan nyata dan solusi mengakar untuk menghentikan kezaliman ini.
Perang antara Iran dan Israel pun semakin memperjelas arah kepentingan. Tidak ada satu pun klausul yang menyinggung kemerdekaan Palestina ketika gencatan senjata diumumkan. Ternyata perang itu bukan tentang solidaritas Islam, melainkan kepentingan politik semata. Palestina hanya dijadikan sebagai alat, bukan tujuan perjuangan.
Lebih ironis lagi, beberapa negara mayoritas muslim, seperti Indonesia masih mengagungkan solusi dua negara, seolah pendekatan diplomatik dapat menyelesaikan genosida brutal. Mereka mengabaikan fakta sejarah bahwa entitas Zionis telah berulang kali melanggar perjanjian. Puluhan resolusi PBB yang telah dilanggar menjadi bukti bahwa Zionis tidak pernah menghargai diplomasi, mereka hanya memahami bahasa kekuatan. Sementara itu, dunia Islam tetap memilih diam, atau lebih buruk, tunduk.
Pada Minggu (21-1-24), Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa ia tidak akan puas dengan kemerdekaan mutlak Palestina. Zionis Israel tidak akan mau hidup berdampingan dengan rakyat Palestina. AS juga tidak rela memberikan kemerdekaan penuh kepada muslim Palestina karena sebenarnya AS berkepentingan untuk menguasai wilayah Timur Tengah sangat strategis dari sisi geopolitik dan kaya sumber daya alam minyak.