Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka seni dan olah raga tetapi belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Penikmat tulisan, foto, dan video

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ole, Manchester United, dan Inggris

20 Agustus 2019   07:21 Diperbarui: 20 Agustus 2019   19:18 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: The Sun (Jamie McPhilimey)

Aaron berumur dua tahun ketika Ole memenangi treble bersama United. Pada sebuah foto lama, tampak baby Aaron berpose mengenakan jersey United bersama saudara laki-laki dan kedua orang tuanya. 

Kini Aaron Wan-Bissaka benar-benar mengenakan seragam itu sebagai pemain profesional di bawah arahan Ole Gunnar Solskjaer.

Apa yang saya suka dari Louis van Gaal selain filosofi attacking football-nya adalah karena ia memainkan anak-anak muda, prinsip yang ia lakukan selama  karirnya, baik di Ajax, Barcelona, maupun Manchester United. 

Portal 90MIN menyebut ada 13 debut pemain muda di tim utama United pada masa van Gaal, diantaranya adalah Blackett, McNair, Rashford, dan Lingard. 

Melakukan regenerasi dan memberi kesempatan pada pemain muda khususnya asal Inggris Raya dan akademi sendiri adalah genetika Manchester United. Genetika yang sebenarnya ada di klub-klub tradisional dengan fanatisme kedaerahannya, namun belakangan tergerus modernisasi sepakbola lalu tenggelam dalam bisnis ala kapitalis.

Apresiasi saya juga teralamatkan kepada Jose Mourinho karena ia mengorbitkan McTominay. Walau bukan warga negara Inggris tetapi McTominay masih dari kawasan Inggris raya dan pula asli akademi United. 

Sayang, pembelian pemain di era Mourinho, seperti biasa, masih menyasar pemain asing yang sudah mapan seperti Ibrahimovic, Lukaku, Matic, Pogba, dan Sanchez. Beruntung pemain-pemain Inggris seperti Young, Smalling, Jones, Shaw, Lingard dan Rashford masih diberi tempat di starting eleven sehingga Manchester United tetaplah sebuah "klub Inggris".

Ole Gunnar Solksjaer pun tiba. 

"Wajah bayi" dan kesuburannya masih lekat di ingatan saya kala bermain untuk United di tahun 90an hingga 2000an. Ole membangkitkan lagi gairah bola saya terhadap United yang sempat meredup sejak ditinggal Sir Alex. Sebabnya adalah karena 

Ole memulai musim 2019/2020 dengan perekrutan yang saya pikir "mengembalikan jiwa" United. Kampanyenya dimulai dengan mendatangkan Daniel James (21), bintang muda Swansea, kemudian Aaron Wan-Bissaka (21) dari Crystal Palace, dan pembelian yang membuat heboh karena pecahnya rekor bek termahal dunia yaitu Harry Maguire (26) dari Leicester. 

Pemecahan rekor untuk seorang bek Inggris juga pernah dilakukan manajemen di masa Alex Ferguson. Pada tahun 2002 Rio Ferdinand (24) dibeli dari Leeds United seharga 30 juta poundsterling yang merupakan rekor pemain termahal di Inggris pada waktu itu.  

Ferdinand, Wan-Bissaka, dan Maguire memang pemain bagus tetapi bukan dibeli dari klub beken dan belum bertatus bintang besar seperti halnya Pogba atau Di Maria. 

Bagi saya harga mahal bisa diterima jika hasilnya sepadan dan bermanfaat untuk waktu yang lama apalagi itu seorang englishman.

Selain perekrutan "anak bangsa", Ole juga menaikkelaskan "pemuda setempat" alias pemain-pemain akademi United. Tuanzebe, Greenwood, Gomes, Chong, dan Garner sudah dicoba bermain di tim utama. 

Greenwood dan Gomes tampaknya menjadi yang paling siap untuk melapis first eleven United di musim ini setelah tampil mengesankan di pertandingan pra musim. 

Hal ini tentu mengingatkan saya lagi akan tradisi United yang berlangsung dari zaman Sir Matt Busby hingga Sir Alex Ferguson. Busby selalu mengandalkan pemain "lokal" binaan klub yang dijuluki Busby babes oleh jurnalis Tom Jackson. 

Bahkan pasca kehilangan pemain-pemain utamanya dalam kecelakaan pesawat di Munich 1958, United berhasil kembali berjaya empat tahun kemudian dengan pemain-pemain Inggris raya yang direpresentasikan oleh Bobby Charlton, Denis Law, dan George Best. 

Kritikan "you can't win anything with kids" dari mantan bek Liverpool, Hansen, di tahun 1995 tidak pula menggagalkan cerita sukses Ferguson memenangi trofi dengan sekumpulan bocah berjuluk The Class of 92. 

Tentu saja Solksjaer belum menambah koleksi trofi di galeri United dan tidak ada jaminan untuk itu. Tetapi gelagatnya membuat saya kembali bersemangat untuk menanti episode selanjutnya dari Manchester United. 

Bahkan saya akan memaklumi jika United tidak juga berhasil merebut trofi English Premier League musim ini asal berhasil membangun struktur tim yang kuat untuk musim-musim berikutnya. 

Inilah klub yang saya mau. Beginilah seharusnya liga yang saya mau, dimana anak-anak lokal tampil di panggung utama, bukan hanya jadi penonton di bangku cadangan atau di liga-liga kelas bawah. 

Fanatisme klub saya masih kalah dengan fanatisme untuk tim nasional Inggris. Untuk apa United merengkuh trofi tetapi yang mengangkatnya adalah tangan-tangan pemain asing? 

Semakin banyak pemain Inggris mendapat tempat utama di klub-klub liga primer maka semakin kuatlah timnas Inggris untuk bersaing di Piala Eropa dan Piala Dunia. 

Lihatlah Portugal, Prancis, Kroasia, Jerman, yang menghuni empat besar Piala Eropa dan Piala Dunia yang terakhir. Hampir semua pemainnya berada di first team baik di liga domestik maupun di luar negeri meski liganya sendiri tidak semegah English Premier League. 

Bukan "you can't win anything with kids", tetapi menurut saya yang benar adalah "you can't win anything with second-tier players". (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun