Pemandangan menarik dari lini masa beberapa hari terakhir ini adalah tentang foto Pak SBY melipat tangan setelah mendengar apa yang diutarakan oleh Pak Prabowo, sekelarnya melayat beberapa hari lalu. Wajah duka Pak SBY tidak bisa menutup rasa hati lain yang tiba-tiba muncul begitu disebut tentang (yang katanya) pilihan pilpres almarhum istrinya oleh tamunya.Â
Bisa dimengerti betapa rasa itu bercampur aduk di hatinya. Ditambah dengan kesantunan sebagai tuan rumah, tetap harus dijaga termasuk saat mempersilahkan si tamu bisa berlalu.
Jika membayangkan apa kejadian setelah itu, bisa saja Pak SBY mengeluarkan nafas kesalnya atau geleng-geleng kepala tak percaya lalu duduk lemas sambil melepaskan kekesalannya itu.Â
Sementara orang-orang yang menjadi saksi atas kejadian, mungkin hanya bisa berusaha menenangkan. Tapi, dalam hati Pak SBY siapa yang tahu? Bisa jadi diantara ketersinggungannya, ia kembali menjadi sedih.Â
Padahal saya yakin, beliau pasti sangat berusaha untuk tidak sering menunjukkan kesedihan terdalamnya kepada orang lain agar mereka tidak turut bersedih juga.
Kalau tentang pernyataan yang dikeluarkan oleh Pak Prabowo itu, saya rada ragu berkomentar. Bisa jadi itu memang ungkapan spontan sebab saking senangnya. Jika benar terjadi spontanitas, berarti memang tidak direncanakan sebelumnya. Keluar begitu saja, tanpa sempat disaring otak apakah  sebaiknya bisa dikeluarkan atau tidak. Penyaringan ini sebenarnya bisa dibiasakan jika yang spontan-spontan itu terbiasa untuk ditahan hingga layak atau tidaknya dikeluarkan.
Pemandangan lain di lini masa adalah foto Kaesang yang berapa hari sebelumnya sempat dibully karena pakaiannya saat melayat. Tulisan saya  di sini dibaca berapa ribu kali.Â
Sementara yang ini sempat dikomentari oleh seorang teman sebelum dibaca sebab baginya kenapa harus urusan baju yang dibahas. Baginya, apa yang dilakukan Kaesang lebih elok daripada sekadar pakaian. Saya sempat ketawa atas komentarnya tersebur. Soalnya memang itu kesimpulan dari tulisan saya yang kedua. Netizen memang maha benar meski ketahuan sebenarnya dia belum membaca apa yang hendak dikomentari.
Santun Modal Masa Depan
Pada masa saya kecil, soal sopan santun kepada yang lebih tua sudah seperti makanan wajib. Nggak di rumah, nggak di sekolah. Kebetulan sekolah saya dikelola oleh-oleh Suster-suster Belanda yang masih feodal.Â
Beberapa hal yang menurut mereka harus dilakukan, jika dilanggar, bersiap saja dengan hukuman yang akan diberikan. Hal-hal itu menyangkut disiplin dan sopan santun.