Mohon tunggu...
Bensar Aditya Nurfallah
Bensar Aditya Nurfallah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa S1 program studi Pendidikan Sosiologi di Universitas Pendidikan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyokong Tradisi dan Budaya Sunda di Desa Wisata Jelekong

30 Juni 2022   23:03 Diperbarui: 1 Juli 2022   00:03 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adat istiadat merupakan ciri budaya yang mencerminkan kepribadian daripada suatu daerah dan suku tertentu yang sudah barang tentu dimiliki secara melimpah oleh masing-masing suku bangsa yang menempati Bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Adat istiadat dapat berbentuk juga semacam tradisi, hal yang menjadi kebiasaan, bahkan larangan atau pantangan di suatu daerah. Sebagai putra sekaligus pribumi masyarakat Sunda atau Urang Sunda Asli, ketika mendengar kata ‘budaya’ ataupun ‘adat’ yang sekilas identik, terpintas di pikiran saya mengenai kebudayaan Sunda, khususnya di tatar Kabupaten Bandung, yang lebih tepatnya terletak di Desa Jelekong, Kecamatan Baleendah. 

Desa Jelekong merupakan desa wisata yang telah diresmikan melalui SK Bupati No. 556.42/Kep. 71/DISPOPAR/2011 sebagai “Kampung Seni dan Budaya Jelekong”. 

Berdasarkan wawancara yang saya lakukan dengan Ibu Intan Sunarya yang merupakan cucu kandung dari mendiang Abéng Sunarya atau dikenal juga sebagai Abah Sunarya, beliau menjelaskan bahwa Desa Jelekong terbagi menjadi tiga kawasan, yakni Kompepar Giriharja, Desa Wisata Jelekong, dan Kompepar Gentong. Kompepar merupakan kependekan dari Kelompok Penggerak Pariwisata. 

Kompepar Giriharja lebih fokus dalam mengelola pertunjukkan dan pagelaran seni Wayang Golék dan lukisan sekaligus mewadahi para seniman, dalang, dan ‘nayaga’ (pemain gamelan dalam perdalangan). Adapun Desa Wisata Jelekong yang berfokus pada penataan lingkungan seperti pengadaan fasilitas-fasilitas umum. Sementara Kompepar Gentong fokusnya terhadap wisata yang berkaitan dengan keindahan alam.

Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai asal usul penamaan desa Jelekong yang memiliki dua versi. Versi pertama yakni kata ‘Jelekong’ berasal dari kata ‘jleg’ yang muncul begitu saja dan ‘gong’ atau ‘kong’ yang merupakan onomatope dari bunyi gong. Versi lainnya mengatakan bahwa kata ‘Jelekong’ berasal dari onomatope ‘jréng’ dan ‘gong’ yang merupakan suara khas dari alat musik tradisional, maka jadilah Jelekong. Masyarakat di Desa Jelekong terkenal dengan ‘kekentalan’ budayanya atau dalam istilah Sunda disebut juga dengan ‘Ngamumulé’

Kegiatan ngamumulé ini dilakukan secara turun temurun sehingga kebudayaan Sunda di desa ini tetap lestari. Hal ini yang membuat desa ini unik dibandingkan dari desa lain. Dengan kata lain, desa ini dikenal sebagai desa ‘produsen’ para seniman andal atau seniman ‘Giri Harja’ seperti kesenian sisingaan, jaipongan, Wayang Golék, pencak silat, serta beberapa industri ekonomi kreatif seperti seni kriya, seni musik, dan seni lukis.

Di desa ini tidak terdapat larangan ataupun pantangan secara spesifik, kecuali larangan-larangan dalam agama Islam. Di desa ini juga tak terdapat tempat-tempat yang disakralkan maupun dikeramatkan, namun orang-orang di desa ini masihlah merawat sekaligus menjaga makam nenek moyangnya, seperti Abah Sunarya. Sanak keluarga dan kerabat dari mendiang almarhum melakukan ziarah secara rutin. Selain itu, banyak juga orang-orang dari luar yang merupakan penggemar dari beliau yang turut berziarah ke makam Abah Sunarya.

 Tradisi utama di Desa Jelekong merupakan peringatan terhadap Hari Wayang Nasional yang diperingati setiap tanggal 7 November. Setiap kali pagelaran dilakukan, masyarakat menyambutnya dengan baik dari dalam maupun luar wilayah sekitar. Acara pagelaran ini dimanfaatkan juga oleh masyarakat sekitar guna memajangkan hasil karya lukisan dan menjajakan berbagai macam mainan, kerajinan tangan, dan makanan. 

Terdapat pula suatu tradisi yang sudah lama tidak diberlakukan lagi, yaitu ngaruwat yang diperuntukkan bagi para dalang di masa lalu. Syarat untuk melakukan ritual ini yaitu melakukan puasa dan menyiapkan berbagai sesajen. Adapun tradisi keluarga dari Abah Abeng Sunarya yaitu dengan menyematkan nama “Sunarya” diakhir namanya, seperti narasumber saya kali ini yang bernama Ibu Intan Sunarya.

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun