Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ketika Nyawa ODHA Diberi Label Harga

18 Januari 2019   14:07 Diperbarui: 18 Januari 2019   20:26 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: antaranews.com

Ini adalah sebuah kemudahan sederhana dari perjuangan seorang ODHA untuk memperoleh pengobatan, memperjuangkan memperpanjang nyawanya. Efeknya cukup signifikan. Banyak penelitian telah membuktikan FDC, termasuk TLE, efektif mengurangi angka putus obat. Gangguan stok TLE berpotensi meningkatkan angka putus obat karena berobat menjadi kian susah.

Menambah dimensi moral dari kelangkaan ini, pihak yang dirugikan merupakan salah satu kelompok yang sangat dimarjinalkan di Indonesia. Harus diakui HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang masih memiliki stigma negatif di Indonesia. 

Dukungan masyarakat terhadap kepentingan-kepentingan ODHA masih cenderung rendah. Jangankan dukungan, untuk menerima keberadaan mereka saja masih susah. Tak jarang mereka didiskriminasi, dianggap terkutuk atau berdosa. Mengambil keuntungan, dengan jumlah fantastis, Rp 270 miliar per tahun, tentu merupakan corengan moral tersendiri.

Lalu siapa yang diuntungkan dari situasi ini? Siapa orang-orang amoral yang mendulang Rp 270 miliar rupiah per tahun dari penderitaan orang-orang marjinal?

Nah, di sini kita melihat paradoks dari krisis ini. Karena PT Kimia Farma dan PT Indofarma sama-sama BUMN, yang paling diuntungkan dari monopoli ini tentu saja pemiliknya: pemerintah. 

Tetapi yang kemudian dirugikan hingga tidak bisa melakukan pengadaan ARV adalah pemerintah pula. Lucu bukan? Ibarat seorang pemilik warung yang tidak bisa belanja di warung milik sendiri karena tidak punya uang. Atau tangan kanan yang tidak bisa membeli barang dari tangan kiri. Itulah paradoks yang terjadi dari krisis pengadaan TLE ini.

Mungkin ada yang berdalih membela kebijakan yang dilakukan PT Kimia Farma dan PT Indofarma ini. Mungkin mereka akan berkata kedua perusahaan farmasi ini sudah investasi besar untuk membeli properti intelektual dan hak produksi ARV dalam negeri. Sebagai perusahaan mereka juga punya tanggung jawab pada pemegang saham, karena memang tidak seratus persen milik pemerintah.

Tapi tetap saja pada akhirnya BUMN adalah milik pemerintah, dikelola melalui Kementerian BUMN. Sebagai perpanjangan tangan tak langsung pada pemerintah sudah seharusnya BUMN juga memiliki tanggung jawab menyejahterakan rakyat. Kalau belum mampu membantu menyejahterakan, paling tidak jangan menyusahkan.

Krisis ini juga terkesan konyol dari segi kebijakan pemerintah. Kegagalan tender ini dapat menunjukkan adanya inkoherensi kebijakan antara usaha Kementerian BUMN mencari keuntungan dan usaha pelayanan kesehatan oleh Kemenkes. 

Ibarat kaki kanan yang menjegal kaki kiri, saat terjatuh yang terluka akhirnya tubuh sendiri. Kekonyolan ini sudah dilihat para stakeholder. Banyak LSM penggiat hak HIV/AIDS sudah mendorong komunikasi yang lebih efektif antara Kemenkes dan Kementerian BUMN yang menaungi PT Kimia Farma dan PT Indofarma.

Mari kita berharap akan tercipta kesepakatan yang memuaskan dari komunikasi ini. Akan sangat konyol jika miskomunikasi dua cabang pemerintahan yang sama akhirnya mengorbankan kesehatan, dan bahkan nyawa, ribuan ODHA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun