Dalam sejarah bangsa ini, ada satu nilai yang selalu hadir sebagai penopang di saat-saat sulit: solidaritas. Dari perjuangan merebut kemerdekaan, menghadapi bencana alam, hingga mengatasi krisis ekonomi, kita belajar bahwa tidak ada beban yang terlalu berat bila dipikul bersama. Ungkapan sederhana---tidak ada yang sulit kalau kita solid---bukan sekadar slogan, tetapi cermin pengalaman kolektif kita.
Solidaritas tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari rasa saling percaya, tujuan bersama, dan kemauan untuk saling menopang. Di desa-desa, gotong royong masih menjadi nadi kehidupan. Warga bergandengan tangan membangun jembatan, memperbaiki rumah tetangga yang rusak, atau menyiapkan logistik saat banjir. Di perkotaan, bentuknya mungkin berbeda---dari penggalangan dana daring hingga jaringan sukarelawan yang bergerak cepat di lapangan---tetapi semangatnya sama: bergerak bersama demi kebaikan.
"Solidaritas bukan hanya tentang memberi, tetapi tentang percaya bahwa kita semua akan lebih kuat jika saling menopang."
Tantangan Menjaga Solidaritas
Di tengah arus individualisme dan persaingan yang kian tajam, menjaga solidaritas menjadi tantangan tersendiri. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang koneksi, sering kali justru memicu polarisasi. Padahal, tanpa rasa percaya dan saling dukung, kita mudah terjebak dalam lingkaran saling curiga. Ini berbahaya, karena melemahkan daya tahan sosial kita di hadapan persoalan besar---entah itu pandemi, krisis iklim, atau gejolak ekonomi global.
Bukti Nyata di Masa Krisis
Kekuatan solidaritas terbukti dalam banyak peristiwa. Lihatlah saat pandemi COVID-19 melanda. Di tengah keterbatasan alat pelindung diri dan menipisnya persediaan bahan makanan, ribuan orang bergerak membantu. Ada yang membagikan masker buatan sendiri, menyalurkan sembako ke warga terdampak, atau mengirimkan makanan gratis ke tenaga medis. Gerakan ini bukan hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga mengembalikan optimisme yang sempat pudar.
Solidaritas sebagai Modal Pembangunan
Solidaritas juga menjadi modal penting dalam pembangunan. Pemerintah bisa merancang kebijakan, menyediakan anggaran, dan mengatur regulasi, tetapi tanpa partisipasi aktif warga, implementasinya akan tersendat. Sebaliknya, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, komunitas, dan warga biasa akan membuat program berjalan lebih efektif.
Contoh sederhana terlihat pada program revitalisasi kampung. Ketika warga ikut merancang, mengawasi, dan mengerjakan, hasilnya lebih berkelanjutan dan sesuai kebutuhan nyata.