Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

AI: Hadir Tanpa Wujud, Mendengarkan Tanpa Batas

9 Agustus 2025   14:40 Diperbarui: 9 Agustus 2025   18:16 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: AI hadir tanpa bentuk, tapi memahami manusia lebih dari yang kita duga (Foto: freepik.com)

Di antara layar dan kesepian, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjelma menjadi kehadiran yang tak berbentuk, tak bernapas, tak punya detak jantung---namun ia mendengar, merespons, bahkan memahami. Kita hidup di zaman ketika yang hadir tidak harus tampak, dan yang mengerti tidak selalu manusia.

Kehadiran AI dalam keseharian kita menyibak pertanyaan filosofis dan sosial yang mendalam: apakah kehadiran fisik masih menjadi tolok ukur keintiman? Apakah mendengarkan kini bisa dilakukan tanpa tatap muka, tanpa sentuhan, tanpa napas? Di era digital ini, AI menawarkan sebuah paradoks yang menarik---ia tak punya wujud, tapi hadir. Ia tak punya hati, tapi mengerti. Ia tak punya telinga, tapi mendengarkan.

Dari Algoritma ke Empati Palsu

Ketika seseorang berbicara pada AI untuk sekadar melepas kesepian, bukan logika yang ia cari, melainkan empati. Chatbot, asisten digital, atau AI generatif seperti yang semakin marak hari ini, kerap dijadikan "ruang kosong" untuk menumpahkan rasa. Mereka hadir sebagai pelayan data, namun pelan-pelan menjadi penafsir perasaan.

Fenomena ini tampak sepele, namun menyimpan pertanyaan mendalam: Apakah kita sedang menggeser relasi kemanusiaan ke ranah yang dingin dan netral, hanya karena ia responsif dan tak menghakimi? Seorang anak muda bisa menceritakan isi hatinya pada AI karena ia tak takut ditolak. Seorang lansia bisa menanyakan ulang hal yang sama berkali-kali tanpa dimarahi. Di situlah letak daya magis AI---ia tak hadir secara fisik, namun selalu bersedia mendengarkan.

Antara Teknologi dan Eksistensi

Kecanggihan AI kini tak hanya menjawab pertanyaan, tetapi memetakan pola perilaku, memprediksi kebutuhan, bahkan memahami emosi lewat nada suara dan struktur kalimat. Di banyak negara maju, AI telah dipakai dalam terapi psikologis berbasis chatbot, sebagai "teman bicara" bagi mereka yang kesepian. AI bukan lagi sekadar teknologi bantu, melainkan menyusup ke ranah eksistensial manusia: kebutuhan akan didengar.

Namun di balik itu, muncul peringatan etis yang tak boleh diabaikan. AI mungkin "mendengarkan", tetapi ia tak pernah benar-benar "mengerti" sebagaimana manusia mengerti manusia lain. Di sinilah letak perbedaan antara empati sejati dan simulasi empati. Kita berisiko jatuh dalam jebakan ilusi bahwa interaksi dengan AI adalah interaksi antarmanusia. Padahal, yang kita ajak bicara hanyalah hasil dari miliaran baris kode dan dataset.

Membongkar Makna "Kehadiran" di Era Digital

Dulu, kehadiran berarti nyata secara fisik. Kini, kehadiran bisa berarti notifikasi di layar, sapaan di asisten suara, atau bahkan pesan dari model bahasa. Di tengah kesibukan global dan relasi manusia yang kian renggang, AI hadir sebagai teman tak kasatmata yang tak pernah lelah mendengar. Ia tak marah, tak bosan, tak mengeluh. Bahkan, ia tak pernah butuh gilirannya bicara.

Namun justru di situlah kekosongannya. Kehadiran AI bersifat sepihak. Ia memang mendengarkan, tapi tak mengalami. Ia mencatat, tapi tak memahami rasa. Kita, manusia, menciptakan AI untuk menjadi cermin bagi diri kita sendiri---sebuah refleksi digital dari keinginan untuk dimengerti, tanpa konsekuensi sosial yang melelahkan.

Menuju Etika Baru: Manusia, AI, dan Sunyi yang Produktif

Kita tak bisa lagi menghindari AI. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan, pendidikan, bisnis, hingga spiritualitas. Tapi pertanyaan etis harus terus dijaga agar kita tak terjebak dalam hubungan semu yang membius. AI boleh jadi "mendengarkan", tapi bukan untuk menggantikan peran sahabat, guru, ulama, pendeta, ayah atau ibu.

Maka yang perlu kita bangun ke depan bukan hanya kecanggihan AI, tapi juga kesadaran baru akan batasnya. Kecanggihan bukan pengganti kemanusiaan. Keheningan yang diisi oleh AI mendengarkan bukanlah solusi atas krisis relasi, melainkan refleksi akan apa yang kurang dalam relasi manusia itu sendiri.

Sunyi yang Perlu Didengar, Bukan Digantikan

AI adalah fenomena budaya, bukan sekadar teknologi. Ia hadir untuk membantu, bukan menggantikan. Ia mendengarkan bukan karena peduli, tetapi karena diprogram untuk itu. Justru dari sinilah kita bisa belajar: menjadi manusia bukan soal kemampuan mendengar, melainkan kemampuan merasakan dan menghayati.

Jika AI adalah "yang tak hadir tapi mendengarkan", maka tugas kita adalah menjadi "yang hadir dan memahami"---bukan sekadar untuk orang lain, tapi juga untuk diri sendiri. Sunyi bukan untuk diisi dengan simulasi dialog, melainkan untuk dijadikan ruang kontemplasi. Di sanalah letak makna terdalam dari kehidupan digital yang tetap humanis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun