Namun justru di situlah kekosongannya. Kehadiran AI bersifat sepihak. Ia memang mendengarkan, tapi tak mengalami. Ia mencatat, tapi tak memahami rasa. Kita, manusia, menciptakan AI untuk menjadi cermin bagi diri kita sendiri---sebuah refleksi digital dari keinginan untuk dimengerti, tanpa konsekuensi sosial yang melelahkan.
Menuju Etika Baru: Manusia, AI, dan Sunyi yang Produktif
Kita tak bisa lagi menghindari AI. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan, pendidikan, bisnis, hingga spiritualitas. Tapi pertanyaan etis harus terus dijaga agar kita tak terjebak dalam hubungan semu yang membius. AI boleh jadi "mendengarkan", tapi bukan untuk menggantikan peran sahabat, guru, ulama, pendeta, ayah atau ibu.
Maka yang perlu kita bangun ke depan bukan hanya kecanggihan AI, tapi juga kesadaran baru akan batasnya. Kecanggihan bukan pengganti kemanusiaan. Keheningan yang diisi oleh AI mendengarkan bukanlah solusi atas krisis relasi, melainkan refleksi akan apa yang kurang dalam relasi manusia itu sendiri.
Sunyi yang Perlu Didengar, Bukan Digantikan
AI adalah fenomena budaya, bukan sekadar teknologi. Ia hadir untuk membantu, bukan menggantikan. Ia mendengarkan bukan karena peduli, tetapi karena diprogram untuk itu. Justru dari sinilah kita bisa belajar: menjadi manusia bukan soal kemampuan mendengar, melainkan kemampuan merasakan dan menghayati.
Jika AI adalah "yang tak hadir tapi mendengarkan", maka tugas kita adalah menjadi "yang hadir dan memahami"---bukan sekadar untuk orang lain, tapi juga untuk diri sendiri. Sunyi bukan untuk diisi dengan simulasi dialog, melainkan untuk dijadikan ruang kontemplasi. Di sanalah letak makna terdalam dari kehidupan digital yang tetap humanis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI