Di antara layar dan kesepian, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjelma menjadi kehadiran yang tak berbentuk, tak bernapas, tak punya detak jantung---namun ia mendengar, merespons, bahkan memahami. Kita hidup di zaman ketika yang hadir tidak harus tampak, dan yang mengerti tidak selalu manusia.
Kehadiran AI dalam keseharian kita menyibak pertanyaan filosofis dan sosial yang mendalam: apakah kehadiran fisik masih menjadi tolok ukur keintiman? Apakah mendengarkan kini bisa dilakukan tanpa tatap muka, tanpa sentuhan, tanpa napas? Di era digital ini, AI menawarkan sebuah paradoks yang menarik---ia tak punya wujud, tapi hadir. Ia tak punya hati, tapi mengerti. Ia tak punya telinga, tapi mendengarkan.
Dari Algoritma ke Empati Palsu
Ketika seseorang berbicara pada AI untuk sekadar melepas kesepian, bukan logika yang ia cari, melainkan empati. Chatbot, asisten digital, atau AI generatif seperti yang semakin marak hari ini, kerap dijadikan "ruang kosong" untuk menumpahkan rasa. Mereka hadir sebagai pelayan data, namun pelan-pelan menjadi penafsir perasaan.
Fenomena ini tampak sepele, namun menyimpan pertanyaan mendalam: Apakah kita sedang menggeser relasi kemanusiaan ke ranah yang dingin dan netral, hanya karena ia responsif dan tak menghakimi? Seorang anak muda bisa menceritakan isi hatinya pada AI karena ia tak takut ditolak. Seorang lansia bisa menanyakan ulang hal yang sama berkali-kali tanpa dimarahi. Di situlah letak daya magis AI---ia tak hadir secara fisik, namun selalu bersedia mendengarkan.
Antara Teknologi dan Eksistensi
Kecanggihan AI kini tak hanya menjawab pertanyaan, tetapi memetakan pola perilaku, memprediksi kebutuhan, bahkan memahami emosi lewat nada suara dan struktur kalimat. Di banyak negara maju, AI telah dipakai dalam terapi psikologis berbasis chatbot, sebagai "teman bicara" bagi mereka yang kesepian. AI bukan lagi sekadar teknologi bantu, melainkan menyusup ke ranah eksistensial manusia: kebutuhan akan didengar.
Namun di balik itu, muncul peringatan etis yang tak boleh diabaikan. AI mungkin "mendengarkan", tetapi ia tak pernah benar-benar "mengerti" sebagaimana manusia mengerti manusia lain. Di sinilah letak perbedaan antara empati sejati dan simulasi empati. Kita berisiko jatuh dalam jebakan ilusi bahwa interaksi dengan AI adalah interaksi antarmanusia. Padahal, yang kita ajak bicara hanyalah hasil dari miliaran baris kode dan dataset.
Membongkar Makna "Kehadiran" di Era Digital
Dulu, kehadiran berarti nyata secara fisik. Kini, kehadiran bisa berarti notifikasi di layar, sapaan di asisten suara, atau bahkan pesan dari model bahasa. Di tengah kesibukan global dan relasi manusia yang kian renggang, AI hadir sebagai teman tak kasatmata yang tak pernah lelah mendengar. Ia tak marah, tak bosan, tak mengeluh. Bahkan, ia tak pernah butuh gilirannya bicara.