Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cerita Meja Makan: Tradisi yang Nyaris Hilang di Tengah Sibuknya Zaman

2 Agustus 2025   08:00 Diperbarui: 1 Agustus 2025   14:38 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:  Meja makan bukan hanya tempat makan, tapi ruang berbagi cerita, nilai, dan kasih yang kian hilang dalam hiruk pikuk zaman. (Foto: freepik.com)

Di sebuah rumah sederhana, saat mentari mulai tergelincir dan aroma masakan memenuhi udara, terdengarlah suara khas ibu memanggil: "Ayo makan bareng!" Bagi sebagian keluarga Indonesia, kalimat ini adalah undangan sakral. Meja makan menjadi altar keseharian, tempat semua peran---ayah yang penat bekerja, ibu yang sibuk mengurus rumah, anak-anak dengan cerita sekolahnya---berkumpul, duduk sejajar, dan berbagi lebih dari sekadar nasi dan lauk pauk.

Namun kini, meja makan perlahan kehilangan perannya. Ia menjadi sekadar furnitur, kadang malah sekadar penghias ruangan. Dalam banyak rumah, makan dilakukan di depan televisi, dengan kepala tertunduk sibuk menggulir layar ponsel. Interaksi verbal digantikan oleh emoji. Percakapan digantikan oleh keheningan. Lalu hilanglah satu tradisi penting: cerita di meja makan.

Padahal, dalam banyak budaya, terutama di Indonesia, meja makan memiliki makna yang jauh lebih dalam. Ia adalah ruang kompromi, arena musyawarah kecil, tempat mengajarkan nilai, menyampaikan harapan, bahkan menyelesaikan konflik.

Ruang Mikro, Dampak Makro

Cerita di meja makan adalah bentuk komunikasi horizontal yang sangat egaliter. Tidak ada hirarki jabatan, tidak ada deadline. Semua duduk setara sebagai manusia, sebagai keluarga. Di sana, anak bisa mendengar kisah bapaknya yang hampir tertipu di kantor. Ibu bisa membagikan kekhawatiran akan kenaikan harga beras. Anak sulung bisa menyampaikan rencana mendaftar kuliah. Bahkan, si bungsu bisa menyela dengan cerita tentang teman baru di sekolah.

Di sinilah nilai empati, keterbukaan, dan saling mendengarkan tumbuh alami. Anak belajar bukan hanya dari teori moral, tapi dari praktik nyata bagaimana orang tuanya berargumen tanpa menyakiti, menyampaikan ketidaksetujuan tanpa menghardik, dan tertawa bersama meski hari berat.

Lebih dari Sekadar Tradisi

Meja makan juga menjadi ruang penyemaian literasi keluarga. Banyak anak mengenal isu-isu sosial, politik, dan budaya justru bukan dari buku, melainkan dari obrolan ringan di sela suapan nasi. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya tumbuh menjadi pemikir kritis karena dibiasakan berdiskusi, bahkan sejak suapan pertama.

Cerita di meja makan adalah soft skill factory yang jarang disadari: membangun daya dengar, ketajaman berpikir, dan kepekaan sosial. Meja makan adalah ruang kecil yang mencetak manusia besar.

Ketika Waktu Makin Mahal

Di era modern ini, kecepatan menjadi raja. Waktu dianggap lebih berharga daripada kehangatan. Sarapan dilakukan tergesa-gesa. Makan siang terpisah karena jadwal kantor. Makan malam? Kadang tinggal dua orang saja yang sempat bertemu. Padahal, bukan soal berapa lama makan bersama, melainkan seberapa penuh kehadiran kita di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun