Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semar dan Tiga Bayangnya: Lelucon, Luka, dan Laku Hidup

10 Mei 2025   10:05 Diperbarui: 9 Mei 2025   15:37 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di balik tawa para punakawan, tersembunyi kebijaksanaan hidup yang tak lekang oleh zaman. Foto by Artificial intelligence (AI)

Dalam pementasan wayang Jawa, tokoh-tokoh utama seperti Arjuna, Bima, atau Yudhistira memang kerap menjadi pusat cerita. Mereka adalah simbol kepahlawanan, keberanian, dan moralitas tinggi. Namun, bagi banyak orang Jawa, jiwa dari pertunjukan itu justru hadir lewat sosok-sosok yang tampak remeh: Semar dan tiga anaknya---Bagong, Petruk, dan Gareng. Mereka bukan tokoh utama, tapi mereka adalah wajah yang paling membumi, yang paling terasa nyata. Mereka bukan para pahlawan, tapi mereka merepresentasikan kehidupan yang sebenarnya.

Semar adalah tokoh unik. Ia bukan dewa, bukan pula manusia biasa. Dalam tradisi pewayangan, Semar diyakini sebagai titisan dewa yang memilih hidup sebagai abdi. Ia bertubuh gemuk, wajahnya tak tampan, mengenakan kain sederhana, dan tutur katanya lugu. Tapi di balik semua itu, Semar adalah representasi dari kebijaksanaan tertinggi. Ia bukan sekadar pelawak, ia adalah suara nurani. Ia tidak mencari sorotan, tapi kehadirannya justru menjadi penuntun arah.

Tiga anak Semar---Bagong, Petruk, dan Gareng---adalah bayang-bayang dari Semar, sekaligus bayangan dari kita semua. Mereka mewakili ragam laku manusia, lengkap dengan kelucuan, kekurangan, dan keluhuran yang tersembunyi di balik tawa.

Bagong, yang bertubuh tambun dan bertingkah polos, sering tampil ceplas-ceplos. Ia bicara tanpa filter, apa adanya, kadang membuat gelisah. Tapi di balik keluguannya, terselip ketulusan yang jarang ditemukan di tengah dunia yang penuh kepura-puraan. Bagong adalah anak yang jujur, dan kejujuran itu kadang lebih menyakitkan daripada kebohongan yang manis.

Petruk, si jangkung berhidung panjang, kerap tampil jenaka dan usil. Ia suka bermain-main dengan keadaan, menertawakan absurditas dunia, dan mengolok-olok kekuasaan. Tapi Petruk juga cerminan dari kecerdasan rakyat yang tak selalu punya ruang bicara. Ia mewakili nalar kritis yang dibungkam, dan karena itu ia berbicara melalui kelakar.

Sementara itu, Gareng hadir dengan tubuh pincang dan ucapan cadel. Ia terlihat lemah, bahkan sering dianggap lucu karena keterbatasannya. Tapi justru dari situlah ia memberi pelajaran: bahwa kehidupan tak menuntut kesempurnaan untuk bisa bermakna. Gareng mengingatkan kita bahwa kekurangan bukan alasan untuk tidak berperan.

Semar dan tiga anaknya ini adalah punakawan---pengasuh, pelindung, dan sekaligus pengingat moral bagi para ksatria. Mereka tidak memiliki tahta, tidak memegang senjata, tapi mereka menjaga arah dari sebuah perjalanan. Dalam banyak lakon, saat para satria mulai tersesat dalam ambisi atau amarah, para punakawanlah yang mengingatkan kembali arah kebenaran.

Namun jangan salah, peran mereka tidak hanya terbatas pada dunia pewayangan. Punakawan adalah metafora dari suara hati rakyat, dari nilai-nilai lokal yang menyuarakan kebajikan dalam kesederhanaan. Mereka adalah simbol dari cara orang Jawa memaknai hidup: bahwa hidup bukan hanya tentang menang dan kalah, tetapi tentang laku---tentang bagaimana kita menjalani dan menyikapi setiap peristiwa dengan bijaksana.

Dalam konteks zaman sekarang, Semar dan ketiga bayangnya menjadi semakin relevan. Dunia yang penuh kegaduhan, media sosial yang dipenuhi debat panas, dan panggung politik yang kian bising, seakan memanggil kembali kebijaksanaan Semar. Kita butuh suara yang tak berambisi menguasai, tapi hadir untuk menjaga. Kita rindu pada cara Bagong yang berani bicara jujur tanpa basa-basi. Kita butuh Petruk yang menertawakan kesombongan dan Gareng yang mengajarkan ketulusan lewat ketidaksempurnaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun