Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tantangan Penulis Cerita Anak Hadapi AI, Kuasai EI

10 April 2025   08:18 Diperbarui: 10 April 2025   08:18 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benny Rhamdani, penulis cerita anak, bersama Kity Karenisa, S.S., M.A. , Kepala Balai Bahasa Provinsi Maluku. (Dokumen Pribadi)


Sejak saya mulai menulis cerita anak lebih dari 40 tahun yang lalu, dunia telah berubah begitu cepat. Dunia penerbitan anak kini tidak hanya dipenuhi dengan buku-buku yang terinspirasi dari imajinasi kita, para penulis, tetapi juga dengan kehadiran teknologi baru yang semakin canggih. Salah satu inovasi terbesar adalah kemunculan Artificial Intelligence (AI) dalam bidang penulisan.

Sebagai penulis yang telah menulis lebih dari 300 buku anak dan remaja, saya telah melihat banyak perubahan, dari cara kita menulis hingga cara anak-anak berinteraksi dengan buku mereka. Namun, meskipun teknologi berkembang pesat, ada satu hal yang tetap tak tergantikan dalam penulisan cerita anak: Emotional Intelligence (EI).

Pada awalnya, saya merasa sedikit khawatir. Bagaimana mungkin penulis manusia bisa bersaing dengan AI yang dapat menghasilkan cerita dalam hitungan detik? AI bisa menghasilkan teks, menyarankan plot, bahkan menulis cerita dengan gaya tertentu. Namun, setelah beberapa waktu, saya menyadari bahwa meskipun AI bisa meniru cara menulis, kecerdasan emosional manusia tetap menjadi kekuatan yang tidak bisa ditandingi oleh mesin.

Menghubungkan dengan Pembaca Lewat Perasaan

Setiap cerita yang saya tulis, saya selalu memikirkan pembaca saya, terutama anak-anak yang sedang membacanya. Saya bertanya pada diri sendiri, Apa yang mereka rasakan? Apa yang mereka butuhkan dari cerita ini? Ini adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional memungkinkan saya untuk merasakan dunia dari sudut pandang anak-anak---dari rasa takut mereka saat menghadapi kegelapan, hingga kegembiraan mereka ketika menemukan teman baru.

AI, meskipun sangat pintar, tidak bisa merasakan hal-hal seperti itu. AI tidak bisa merasakan kegembiraan seorang anak saat mereka membuka halaman pertama buku dan bertemu dengan karakter yang mereka idamkan. Itulah mengapa dalam penulisan cerita anak, saya merasa bahwa EI adalah jantung dari cerita yang bisa membuat anak-anak merasa terhubung dengan dunia yang saya ciptakan. Saya ingin mereka merasakan apa yang dirasakan oleh karakter-karakter itu, menangis dan tertawa bersama mereka, karena hanya dengan cara itulah cerita saya akan hidup di hati mereka.

Empati dan Karakter yang Hidup

Ketika saya menulis karakter, saya selalu mencoba untuk menghidupkan mereka. Saya ingin anak-anak bisa merasakan kecemasan, kegembiraan, dan rasa ingin tahu yang dialami karakter-karakter itu. Saya ingin mereka melihat diri mereka dalam karakter tersebut dan merasa seperti mereka adalah bagian dari cerita.

Itulah yang membuat perbedaan antara cerita yang dibuat oleh AI dan cerita yang ditulis oleh manusia. Empati adalah kekuatan utama yang digunakan oleh penulis untuk menciptakan karakter yang hidup. Sebagai penulis, saya bisa merasakan ketakutan karakter utama ketika mereka terjebak dalam situasi yang menegangkan, atau rasa bahagia mereka saat mereka menemukan teman sejati. AI, meskipun dapat menciptakan karakter yang tampak realistis, tidak dapat merasakan emosi yang mendalam yang membuat karakter tersebut terasa hidup.

Menyampaikan Pesan Moral yang Mendalam

Sebagai penulis cerita anak, saya selalu berusaha menyampaikan pesan moral yang dapat membekas dalam diri anak-anak. Emotional Intelligence memungkinkan saya untuk menyampaikan pesan-pesan ini dengan cara yang tidak hanya dipahami oleh anak-anak secara intelektual, tetapi juga dirasakan dalam hati mereka.

Ketika menulis cerita tentang berbagi, saya tidak hanya memberitahukan kepada pembaca bahwa berbagi itu baik. Saya menciptakan situasi di mana karakter utama harus berjuang untuk belajar berbagi---merasakan kesulitan dan kebingungannya. Anak-anak yang membaca cerita ini dapat merasa perasaan yang sama, mereka bisa merasakan bagaimana karakter tersebut berubah, bukan hanya dengan akal mereka, tetapi dengan hati mereka.

AI mungkin bisa menulis cerita dengan pesan yang jelas, tetapi kecerdasan emosional manusia adalah kunci untuk menyampaikan pesan-pesan moral dengan cara yang menyentuh. AI tidak bisa mengerti perasaan yang terkandung di balik kata-kata itu, sementara saya sebagai penulis dapat memastikan bahwa pesan moral saya akan memberi dampak yang lebih dalam bagi pembaca.

Ketika Tantangan Datang

Menulis cerita anak tidak selalu mudah. Ada saat-saat ketika saya merasa terjebak, ketika saya merasa tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan emosi atau situasi. Di situlah EI saya berperan penting. Mengelola perasaan saya, mengatasi rasa frustrasi, dan mengembalikan semangat saya untuk melanjutkan menulis adalah bagian dari proses kreatif. Kemampuan untuk mengenali dan mengelola perasaan saya memungkinkan saya untuk tetap produktif dan terus menulis dengan hati.

AI mungkin dapat menghasilkan teks, tetapi AI tidak bisa merasakan tekanan atau tantangan emosional yang saya rasakan sebagai penulis. Kecerdasan emosional adalah bahan bakar yang memungkinkan saya untuk terus maju, menulis lebih banyak cerita, dan beradaptasi dengan perubahan zaman.

EI sebagai Kekuatan yang Tak Tergantikan

Meskipun AI berkembang dengan pesat dan mampu menghasilkan cerita dengan cepat dan efisien, Emotional Intelligence (EI) tetap menjadi kekuatan yang tak tergantikan dalam penulisan cerita anak. EI memungkinkan penulis untuk terhubung dengan pembaca secara emosional, menciptakan karakter yang hidup, menyampaikan pesan moral yang mendalam, dan mengelola tantangan kreatif dengan hati yang penuh. Sebagai penulis yang telah berkarir selama lebih dari 40 tahun, saya tahu bahwa cerita yang datang dari hati akan selalu menginspirasi dan memberi dampak lebih besar daripada cerita yang hanya diciptakan dengan kecerdasan buatan.

Di dunia yang semakin dipenuhi oleh teknologi, EI akan terus menjadi salah satu alat paling penting yang kita miliki untuk menciptakan cerita yang menginspirasi, menghangatkan hati, dan memberikan pelajaran hidup bagi generasi mendatang. Sebuah cerita yang menyentuh hati pembaca tidak hanya lahir dari kata-kata, tetapi juga dari perasaan yang tulus, dan itu adalah sesuatu yang hanya bisa kita ciptakan sebagai manusia.
*_*

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun