Mohon tunggu...
Bennaya Jonathan Siagian
Bennaya Jonathan Siagian Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMA Kanisius Jakarta

Siswa SMA Kanisius Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stunting: Ancaman Masa Depan Bangsa

26 Februari 2022   22:00 Diperbarui: 26 Februari 2022   22:10 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Latar Belakang

Sejarah Stunting

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018), stunting adalah kondisi dimana pertumbuhan pada anak gagal karena kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Bermula di tahun 1830, Johanes Van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda memberlakukan cultuurstelsel dimana rakyat harus menyerahkan seperlima hasil tanaman ekspor mereka kepada pemerintah. Kelangkaan pangan dan kelaparan besar-besaran terjadi di berbagai daerah yang menyebabkan kurangnya asupan gizi di anak-anak dan orang dewasa. Kedatangan Jepang di tahun 1942 memperburuk situasi ini, dimana rakyat diwajibkan menyetor hasil pertanian mereka kepada pemerintah, sehingga rakyat hanya mendapatkan 40% dari hasil jerih payah mereka. Dengan demikian, banyak balita yang menderita kekurangan gizi dan masalah stunting sedari belia.

Penyebab Stunting dan Dampaknya

Kondisi stunting yang memprihatinkan ini tidak kunjung membaik. Pada periode awal pascakemerdekaan, keadaan ekonomi negara belum stabil sehingga mempersulit masyarakat dalam mengakses makanan yang sehat dan memenuhi standar gizi. Kemiskinan, faktor sanitasi, dan kurangnya edukasi juga menjadi penyebab melambungnya angka stunting di negara kita. Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (2019), prevelensi stunting di Indonesia mencapai lebih dari 27%. Artinya, sekitar satu dari empat balita atau sebanyak delapan juta anak di Indonesia mengalami stunting. Dibandingkan dengan standar World Health Organization, angka ini terbilang masih sangat tinggi. Sebagai referensi, Indonesia berada di urutan 4 dunia dan urutan ke-2 di Asia Tenggara perihal kasus stunting di bawah usia lima tahun.

Isu sosial ini sama sekali tidak sepele. Stunting menyebabkan perkembangan otak dan fisik pada balita menjadi terhambat; mereka rentan terhadap penyakit dan sulit untuk berprestasi. Ketika sudah dewasa, balita stunting mudah mengalami kegemukan sehingga mudah terkena penyakit jantung, diabetes, atau penyakit degeneratif tidak menular lainnya. Oleh karena itu, stunting menyebabkan penurunan kualitas dan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan, yang tentu akan mengancam keutuhan NKRI. Hal ini tentu akan berdampak pada kemajuan, keutuhan, dan integrasi nasional yang dipegang oleh generasi-generasi penerus. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, stunting menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar dua sampai tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sebesar 509 triliun rupiah. Oleh karena itu, stunting harus segera diatasi.

Apa yang bisa Indonesia lakukan?

Solusi penyelesaian pertama dari masalah ini adalah dengan paket bantuan bersalin. Bantuannya meliputi uang tunai dan pendidikan kepada ibu yang baru melahirkan dan keluarganya. Bantuan tunai menjadi pendapatan tambahan untuk membeli makanan bernutrisi dan layanan kesehatan berkualitas untuk tumbuh kembang seribu hari pertama anak. Pendidikan menjadi penambahan yang diperlukan supaya belanja rumah tangga tepat guna dan efektif. Di Meksiko, solusi ini bersama dengan tambahan suplemen mampu mengurangi stunting di bawah usia 36 bulan sebanyak sepuluh persen. Bahkan, program ini efektif secara jangka panjang karena selepas usia balita, pasar dan perekonomian daerah terangsang untuk meningkatkan persediaan makanan bersih dan bergizi, serta masyarakat menjadi berwawasan lebih luas soal asupan makanan dan gizi.

Solusi penyelesaian kedua dari masalah ini adalah dengan program layanan komunitas dari dan untuk masyarakat di berbagai daerah atau Community Act. Pelayanan ini biasanya dilakukan secara sukarela dan dikoordinir oleh pemerintah setempat; dilakukan dengan memperlengkapi dan mengirim petugas kesehatan serta ahli gizi ke garis terdepan penyelamatan stunting. Tugas mereka adalah memberikan kegiatan pembinaan, layanan gizi, komunikasi, dan konsultasi terkait pola makan dan asuh anak. Solusi ini terbukti efektif karena di Maharashtra (negara bagian India) di tahun 2006-2012, angka stunting turun sebesar empat belas persen karena program berbasis komunitas. Oleh karena itu, solusi ini realistis dan efektif untuk diterapkan karena memberdayakan masyarakat untuk bekerja lintas sektor secara horizontal dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada, seperti tenaga kesehatan rumah sakit, bidan, atau masyarakat setempat.

Solusi penyelesaian ketiga dari masalah ini adalah dengan menjadikan stunting sebagai agenda prioritas nasional. Brazil mampu menurunkan angka stunting dari 37% ke 7% dalam tiga puluh tahun berkat visi, komitmen, dan kepemimpinan pemerintahannya. Dengan demikian, tidak mustahil apabila stunting di Indonesia mencapai 14% di tahun 2024 sesuai target yang telah ditetapkan pemerintah. Bersama dengan otonomi daerah, pemerintah pusat sebaiknya menjadikan ketahanan pangan dan gizi di antara prioritas utama nasional yang disokong dengan anggaran yang memadai, dukungan kelembagaan dalam penyelenggaraan program, dan penerbitan kebijakan-kebijakan. Alhasil, masalah stunting akan menjadi awareness nasional dengan semua pihak turut andil mengatasinya.

Epilog

Kesimpulan

Stunting adalah masalah nasional yang telah ada sejak dulu sampai hari ini. Berbagai program pemerintah telah menurunkan prevelensi stunting menjadi 27%, namun angka tersebut belum cukup. Nyatanya, Indonesia masih peringkat dua dunia dalam kategori stunting di usia balita, dan hal ini sama sekali tidak sepele. Akibat tumbuh kembang balita secara fisik dan kognitif yang tidak optimal, SDM mengalami penurunan yang menyebabkan kerugian ekonomi mencapai ratusan triliun rupiah. Stunting di negara kita disebabkan oleh faktor sanitasi, edukasi, dan kemiskinan yang mempersulit akses masyarakat ke asupan makanan yang sehat dan bergizi. Oleh karena itu, solusi penyelesaian yang ditawarkan meliputi paket bantuan bersalin, program layanan berbasis komunitas di daerah, dan menjadikan stunting sebagai agenda prioritas nasional. Anak merupakan aset masa depan bangsa yang begitu berharga, pengentasan stunting diperlukan untuk menjamin generasi penerus yang gemilang.

Daftar Pustaka

Haddad, L., Nisbett, N., dan Valli, E. 2014. Maharashtra's Child Stunting Declines: What is Driving Them? Findings of a Multidisciplinary Analysis. Diunduh 26 Februari 2022 (https://www.ids.ac.uk/publications/maharashtras-child-stunting-declines-what-is-driving-them-findings-of-a-multidisciplinary-analysis).

Humas, 2022. "Inilah Upaya Pemerintah Capai Target Prevalensi Stunting 14% di Tahun 2024." Jakarta: Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Diunduh 26 Februari 2022 (https://setkab.go.id/inilah-upaya-pemerintah-capai-target-prevalensi-stunting-14-di-tahun-2024/).

Millennium Challenge Account Indonesia, 2018. "Stunting dan Masa Depan Indonesia." Jakarta: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Diunduh 26 Februari 2022 (http://citradenali.info/wp-content/uploads/2018/05/1.2.-Millenium-Challenge-Account-%E2%80%93-Indonesia.-Stunting-dan-Masa-Depan-Indonesia.-www.mca-indonesia.go_.id_..pdf).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun