Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) telah lama menjadi tulang punggung industri batubara Indonesia. Namun, selama dua dekade, aktivitas angkutan batubara yang intensif mengakibatkan kerusakan parah pada infrastruktur jalan, memicu kemacetan kronis, dan menggerus kualitas hidup masyarakat. Kini, hadirnya jalan khusus batubara sepanjang 118 kilometer (KM) yang dikelola PT Servo Lintas Raya---anak perusahaan PT Titan Infra Sejahtera (TIS)---menjadi jawaban atas masalah ini. Tidak hanya memindahkan ribuan truk dari jalan umum, infrastruktur ini juga menjadi kunci pencapaian target produksi 131 juta ton batubara pada 2025, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai penyumbang 6% ekspor batubara global.
Latar Belakang: Dua Dekade Kerusakan dan Dampak Sosial-Ekonomi
Sejak awal 2000-an, Sumsel berkembang menjadi sentra produksi batubara nasional, dengan produksi mencapai 119 juta ton pada 2024. Namun, pertumbuhan ini tidak diimbangi pembangunan infrastruktur yang memadai. Truk-truk bermuatan 30--40 ton membanjiri jalan umum, terutama di rute Muara Enim--Lahat--Palembang. Data Dinas PU Sumsel menyebut 70% kerusakan jalan di wilayah timur provinsi ini disebabkan oleh angkutan batubara.
Bambang Sutrisno (52), sopir angkutan umum di Muara Enim, menggambarkan penderitaan warga: "Perjalanan 50 KM dari Muara Enim ke Lahat bisa memakan waktu 3--4 jam karena jalan berlubang dan truk yang parkir sembarangan." Tanpa intervensi, kerugian ekonomi diproyeksikan mencapai Rp1,2 triliun per tahun akibat biaya perbaikan jalan dan inefisiensi logistik.
Dasar Hukum dan Komitmen PT TIS
Keberadaan jalan khusus ini sejalan dengan UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya Pasal 123 yang melarang penggunaan jalan umum untuk angkutan tambang skala besar. PT TIS menjawab tantangan ini melalui anak usahanya, PT Servo Lintas Raya, yang membangun jalan khusus secara bertahap sejak 2010.
Yayan Suhendri, Head of Government Relations PT Servo Lintas Raya, menegaskan komitmen perusahaan: "Jalan umum adalah hak masyarakat. Kami ingin memastikan industri tidak merusak infrastruktur publik."
Infrastruktur Unggulan: Teknologi dan Investasi
Jalan khusus ini membentang dari Muara Enim---pusat pertambangan---hingga Pelabuhan Khusus Batubara PT Swarnadwipa Dermaga Jaya di Sungai Musi. Dibangun dengan investasi Rp1,2 triliun, infrastruktur ini dilengkapi fitur teknologi mutakhir:
Sistem GPS Tracking: Memantau kecepatan, muatan, dan posisi truk secara real-time.
Material Konstruksi Khusus: Aspal setebal 40 cm dengan campuran polymer, mampu menahan beban hingga 50 ton per truk.
15 Pos Pengawasan: Dilengkapi alat uji muatan dan kondisi teknis kendaraan.
"Kami membatasi kecepatan maksimal 40 KM/jam dan mewajibkan ban khusus untuk mengurangi getaran," jelas Yayan.
Dampak Positif: Efisiensi Logistik dan Penghematan Anggaran
Sejak dioperasikan penuh pada Januari 2025, jalan khusus ini mengurangi volume truk batubara di jalan umum hingga 60%. Di Kabupaten PALI---dulu titik kemacetan terparah---waktu tempuh kendaraan umum turun dari 2 jam menjadi 30 menit. Dinas Perhubungan Sumsel mencatat penurunan kecelakaan truk batubara sebesar 45% dalam dua bulan pertama.
Efisiensi logistik juga meningkat signifikan. Waktu tempuh truk ke pelabuhan berkurang dari 12 jam menjadi 6 jam. "Biaya operasional perusahaan turun Rp200.000 per truk per hari," ujar Hendra Wijaya, Manajer Logistik PT Batubara Sumsel Energi.
Bagi pemerintah, penghematan anggaran perbaikan jalan mencapai Rp200 miliar per tahun. "Dana ini dialihkan untuk pembangunan sekolah dan puskesmas," kata Ahmad Syarifuddin, Kepala Dinas PU Sumsel.
Pro-Kontra Flyover di KM 48: Antara Kebutuhan dan Realitas
Meski sukses, proyek ini menuai kritik terkait rencana flyover di KM 48 Kabupaten PALI. Pemerintah daerah mengusulkan flyover untuk mengantisipasi kenaikan produksi batubara hingga 150 juta ton pada 2026. Namun, PT TIS menilai flyover belum mendesak. Analisis lalu lintas menunjukkan jalur hauling mampu menampung 1.500--2.000 truk/hari.