Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Serakahnomics Beras: Pengkhianatan Terhadap Nasi(onalisme)

23 Juli 2025   18:00 Diperbarui: 23 Juli 2025   17:41 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kedaulatan beras

Beras, Nasionalisme, dan Krisis Serakahnomics

Beras, bagi Indonesia, lebih dari sekadar komoditas pangan. Ia adalah urat nadi kehidupan, simbol identitas kultural yang mengakar kuat, penanda solidaritas komunal, sekaligus pilar fundamental kedaulatan pangan nasional. 

Dari sabang sampai merauke, butiran nasi menjadi perekat sosial, menghadirkan kebersamaan di meja makan, dan menjadi penentu stabilitas politik-ekonomi. Namun, di balik citra sakral ini, beras kini terperangkap dalam pusaran krisis yang tak hanya mengancam perut rakyat, tetapi juga mengikis makna terdalam dari "nasionalisme" itu sendiri. Krisis ini adalah manifestasi dari apa yang kita sebut "Serakahnomics": sebuah distorsi fundamental terhadap makna asli ekonomi.

Istilah "Serakahnomics" menggambarkan distorsi dalam praktik ekonomi modern, di mana prinsip pengelolaan ekonomi untuk kesejahteraan bersama (oikosnomos) bergeser menjadi mekanisme akumulasi kekayaan segelintir pihak dengan mengorbankan banyak orang. Dalam konteks beras, logika ini tercermin dalam penguasaan distribusi oleh konglomerasi, lemahnya proteksi terhadap petani kecil, dan ketergantungan terhadap pasar bebas.

Manifestasi Serakahnomics dalam sektor beras terlihat jelas dalam berbagai konflik: fluktuasi harga yang mencekik petani dan konsumen, isu kualitas yang meresahkan seperti kasus beras oplosan, hingga distribusi bantuan sosial (bansos) yang seringkali tidak tepat sasaran dan berbau politis. Fenomena-fenomena ini bukan semata-mata anomali pasar, melainkan gejala sistemik dari pengkhianatan terhadap nasionalisme substansial—nasionalisme yang seharusnya berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan segelintir elite.

Tesis utama artikel ini adalah bahwa krisis pangan yang kita hadapi saat ini bukanlah semata-mata persoalan teknis pasar atau dinamika penawaran-permintaan. Lebih jauh, ini adalah persoalan ideologis dan etis; sebuah pengkhianatan terhadap nasi(onalisme) dalam arti yang sesungguhnya. Untuk membongkar lapisan-lapisan krisis ini, kita akan menggunakan pendekatan interdisipliner, menggali dari ranah epistemologi, etika, sejarah, ideologi, dan konstitusi, demi menemukan jalan pulang emansipatoris yang berpihak pada keadilan.

Akar Krisis: Distorsi Ekonomi dan Miskonsepsi tentang Kodrat Manusia

Untuk membedah krisis Serakahnomics dalam tata kelola beras, kita harus menelusuri akar konsep “ekonomi” dalam -nomics yang telah direduksi menjadi mesin akumulasi. Dalam tradisi Yunani Kuno, Aristoteles mendefinisikan oikosnomos (oikos = rumah tangga, nomos = pengaturan) sebagai seni mengelola sumber daya demi mencapai eudaimonia—kesejahteraan holistik seluruh anggota rumah tangga. Prinsip dasarnya adalah keberlanjutan, keadilan distributif, dan pemenuhan kebutuhan kolektif, bukan laba tanpa batas.

Namun, revolusi epistemologis sejak era merkantilisme hingga Revolusi Industri mengubah total makna ini. Ekonomi dipreteli menjadi ilmu akumulasi kapital, di mana pasar—dengan tangan tak kasatmata-nya—diyakini sebagai regulator otomatis yang paling efisien. Logika inilah yang melahirkan Serakahnomics: sistem yang mengabsahkan kesenjangan melalui mitos “efisiensi pasar”, mengubah beras dari hak hidup menjadi komoditas spekulatif.

Distorsi ini diperkuat oleh miskonsepsi fatal tentang kodrat manusia. Narasi neoliberal menggembar-gemborkan homo economicus—manusia sebagai makhluk rasional yang secara alami egois dan serakah—sebagai hukum alam. Padahal, riset mutakhir dalam psikologi prososial membantah tegas asumsi ini. Michael Tomasello (2019) membuktikan bahwa kerja sama dan altruisme adalah insting bawaan manusia sejak bayi. Eksperimen Ernst Fehr menunjukkan bahwa mayoritas orang lebih memilih keadilan distributif ketimbang keuntungan pribadi maksimal, bahkan saat tak diawasi.

Tengoklah masa keseharian masa kanak-kanak kita yang paling sederhana. Saat di bangku sekolah dasar kita tanpa ragu meminjamkan pensilnya kepada teman yang membutuhkan. Pada momen polos itu, kita sudah memahami ontologis fungsional objek yaitu nilai suatu benda terletak pada kegunaannya untuk memenuhi kebutuhan (praktis) dan membangun relasi (sosial), bukan pada akumulasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun