Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konflik Epistemik antara Wahyu dan Sejarah dalam Islamisme (Bagian II)

10 Juni 2025   13:31 Diperbarui: 10 Juni 2025   13:47 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Interaksi ruang publik (Sumber: ai 2025)

Baca dulu: Konflik Epistemik antara Wahyu dan Sejarah dalam Islamisme (Bagian I)

Dampak pada Pendidikan dan Budaya Intelektual

Dampak dari epistemologi Islamisme ini tidak hanya terbatas pada lingkaran intelektual, tetapi juga meresap ke dalam sistem pendidikan dan membentuk budaya intelektual secara keseluruhan. Ketika narasi sejarah dibungkam atau dimanipulasi untuk mendukung agenda ideologis, kurikulum pendidikan seringkali menjadi alat ‘indoktrinasi’ daripada pencerahan.

Sejarah diajarkan sebagai serangkaian kisah heroik yang tidak boleh dipertanyakan, dengan fokus pada "masa keemasan" yang diidealkan dan penolakan terhadap periode-periode yang dianggap "merosot" atau "menyimpang." Hal ini menghasilkan generasi yang kurang memiliki keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk menganalisis secara independen. Tunas bangsa diajarkan untuk menghafal fakta-fakta yang telah disaring dan untuk menerima narasi yang telah ditetapkan, daripada untuk menggali sumber-sumber primer, mengevaluasi bukti, dan membentuk kesimpulan mereka sendiri. Akibatnya, kapasitas untuk berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan zaman menjadi terhambat. Jika sejarah hanya dilihat sebagai daftar bukti untuk membenarkan klaim-klaim tertentu, maka inovasi dan kritik menjadi ancaman, bukan peluang.

Selain itu, atmosfer intelektual di bawah pengaruh Islamisme cenderung kurang kondusif bagi riset dan pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Para peneliti mungkin ragu untuk mengeksplorasi topik-topik yang sensitif atau untuk mempublikasikan temuan yang mungkin menantang narasi yang dominan.

Tidak hanya itu, beban kelelahan epistemik juga dirasakan para akademisi ketika mereka harus berulang kali merespons klaim-klaim pseudo-historis yang beredar di ruang publik—seperti klaim yang menyebut Borobudur sebagai peninggalan Nabi Sulaiman misalnya. Klaim semacam ini bukan hanya mengaburkan batas antara keyakinan dan fakta sejarah, tetapi juga membanjiri ruang akademik dengan kebisingan simbolik yang menyita energi intelektual tanpa memberikan sumbangan metodologis. Ketika ruang debat dikotori oleh distorsi sejarah yang berbalut keagamaan, maka upaya ilmiah yang serius pun terancam tenggelam dalam polusi wacana yang tidak produktif.

Pendanaan dan dukungan institusional mungkin lebih mudah didapatkan untuk riset yang mendukung agenda ideologis, sementara riset kritis dan independen mungkin kesulitan untuk bertahan. Ini menciptakan lingkaran setan di mana kurangnya riset kritis semakin memperkuat hegemoni narasi ideologis.

Implikasi lebih lanjut dari banalitas diskursus ini adalah erosi kebebasan akademik dan otonomi intelektual. Dosen dan peneliti mungkin menghadapi tekanan untuk menyesuaikan penelitian dan pengajaran mereka dengan narasi ideologis yang disetujui. Ini dapat menyebabkan self-censorship dan hilangnya orisinalitas dalam pemikiran. Lingkungan di mana pertanyaan-pertanyaan sulit dihindari dan kritik ditekan akan menghambat pertumbuhan intelektual dan mempersulit munculnya ide-ide inovatif yang esensial untuk kemajuan masyarakat dan pembangunan kesejahteraannya.

Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana masyarakat dapat berkembang jika mereka tidak dapat belajar dari kesalahan masa lalu, atau jika mereka tidak dapat memahami kompleksitas realitas historis dan perubahan sosial? Sebuah masyarakat yang terpaku pada narasi tunggal dan menolak kritik sejarah cenderung mengulangi kesalahan dan menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan tantangan baru. Ini bukan hanya masalah akademis, tetapi juga masalah praktis yang memengaruhi pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.

Baca juga: Setelah Said (Bagian II): Dari Anti-Orientalisme ke Emansipasi Praksis 

Untuk mengatasi ini, diperlukan upaya kolektif untuk mempromosikan budaya intelektual yang lebih terbuka dan inklusif. Ini berarti mendorong pendidikan yang berpusat pada pemikiran kritis, memfasilitasi riset independen, dan menciptakan ruang aman untuk debat dan diskusi yang konstruktif. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus menjadi benteng kebebasan akademik, di mana ide-ide dapat dipertukarkan tanpa rasa takut akan sensor atau pembalasan. Selain itu, masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam menyuarakan pentingnya pluralisme intelektual dan dalam menentang upaya-upaya untuk membungkam sejarah. Penting juga untuk meninjau ulang kurikulum pendidikan, memastikan bahwa ia tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga menumbuhkan kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan berargumentasi. Dengan demikian, kita dapat melahirkan generasi yang tidak hanya berpengetahuan, tetapi juga kritis, adaptif, dan mampu menghadapi tantangan masa depan.

Melepaskan Sejarah dari Belenggu Dogma: Peran Intelektual dan Masyarakat

Membebaskan sejarah dari belenggu dogmatisme Islamisme memerlukan upaya multifaset dari berbagai aktor. Intelektual Muslim memiliki peran krusial dalam memimpin dialog ini. Mereka bisa lebih luwes dan berani untuk terlibat secara kritis dengan teks-teks keagamaan dan narasi sejarah, menggunakan metodologi ilmiah dan rasional, tanpa rasa takut dituduh "menyimpang" atau "tidak setia." Mengembangkan hermeneutika yang lebih fleksibel terhadap wahyu, yang mengakui aspek historisitas dan kontekstualitas tafsir, adalah langkah fundamental. Ini berarti menerima bahwa pemahaman wahyu selalu merupakan upaya manusiawi yang terikat pada waktu dan tempat—asbab al-nuzul— dan oleh karenanya, selalu terbuka untuk reinterpretasi seiring perubahan sosial dan historis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun