(Baca dulu bagian I: Setelah Said: Membongkar Anti-Orientalisme dan Diplomasi Simbolik Terhadap Palestina)
Narasi Kolonisasi dan Kritik Sadik Jalal al-Azm
Setelah membedah kegagalan struktural elite Palestina pasca-1948, penting bagi kita untuk menggeser lensa: bukan sekadar pada apa yang dilakukan Israel dan Eropa Barat, tetapi pada bagaimana kita sendiri memahami dan membingkai realitas itu.
Di tengah arus kritik terhadap hegemoni Barat, terutama pasca-penerbitan Orientalism oleh Edward Said, muncul suara pembangkang dari dalam dunia Arab sendiri. Salah satu yang paling tajam adalah Sadik Jalal al-Azm---seorang filsuf Suriah yang berani menggugat kenyamanan intelektual kaum anti-orientalis. Dalam esainya yang terkenal, Orientalism and Orientalism in Reverse (1981), al-Azm mengkritik bahwa banyak teks anti-orientalis justru terjebak dalam cara pikir yang ironis: mereka menolak stereotip Barat, namun sekaligus meneguhkan Timur sebagai korban pasif yang tak berdaya.
Baginya, fokus berlebihan pada narasi kolonisasi dan pada bagaimana "Barat menggambarkan Timur" telah mereduksi realitas kompleks masyarakat Arab menjadi sekadar soal representasi budaya. Kritik ini mengguncang, karena menyentuh akar dari kegagalan otokritik internal. Alih-alih bertanya: apa yang salah dalam kepemimpinan, institusi, dan kontradiksi internal kita?, banyak intelektual pascakolonial justru berhenti pada kritik terhadap cara Barat melihat kita.
It is as if Orientalism as discourse alone was sufficient to cause our decline, and not our real political and social structures
- Sadik Jalal Al-Azm
Kutipan ini menjadi nyawa kritik al-Azm. Ia menegaskan bahwa kejatuhan dan stagnasi politik dunia Arab tak bisa semata dijelaskan lewat cara Barat menulis tentang mereka. Ada struktur sosial-politik internal yang korup, disfungsional, dan fragmentaris---yang jauh lebih signifikan sebagai penyebab kegagalan emansipasi.
Dengan terus-menerus menyalahkan "Orientalisme" atau "imperialisme", kita menciptakan pelindung ideologis terhadap kegagalan elite sendiri. Al-Azm menyodorkan ajakan menyakitkan tapi mendalam: bahwa emansipasi sejati menuntut bukan hanya dekonstruksi narasi kolonial, tetapi juga otopsi jujur terhadap patologi internal.
Narasi ini, dalam konteks perjuangan Palestina, menggugah pertanyaan lebih luas: apakah kegagalan perlawanan berasal dari kekuatan kolonial semata, atau juga karena tidak adanya kapasitas internal untuk membangun kepemimpinan, organisasi, dan visi kebangsaan yang kohesif?
Indonesia dan Diplomasi Palestina: Antara Non-Blok dan Simbolisme
Sejak Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 hingga keterlibatannya dalam Gerakan Non-Blok, Indonesia memosisikan diri sebagai simpul moral dan suara penting bagi negara-negara Dunia Ketiga. Dalam kerangka tersebut, dukungan terhadap Palestina menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan ketidakadilan global, yang membentuk pilar ideologis utama diplomasi Indonesia. Namun posisi ini tidak pernah sepenuhnya bebas dari kompleksitas geopolitik.
Di forum KAA 1955 sendiri, muncul perdebatan internal terkait absennya Israel. Delegasi India yang dipimpin oleh Jawaharlal Nehru dan Republik Rakyat Tiongkok yang diwakili Zhou Enlai dikabarkan menyampaikan pertanyaan diplomatis: mengapa negara yang baru merdeka seperti Israel tidak turut diundang? Bagi India dan Tiongkok, yang kala itu menjajaki blok multipolar dan otonomi strategis Dunia Ketiga, pengucilan Israel dianggap bertentangan dengan prinsip inklusif dan netral yang coba ditegakkan konferensi tersebut.
Sebagai tuan rumah, Indonesia menghadapi dilema kompleks: tekanan diplomatik dari kekuatan negara-negara arab delegasi KAA dan simpati domestik terhadap perjuangan Palestina mendorong penolakan terhadap Israel, namun pada saat yang sama, Indonesia juga mesti menjaga kredibilitas internasionalnya sebagai negara penggagas dan fasilitator Dunia Ketiga. Absennya Israel dapat dilihat sebagai hasil kompromi politis yang tidak mencerminkan posisi luar negeri yang sepenuhnya konsisten, melainkan penyesuaian terhadap tekanan simbolik di tingkat domestik dan regional.
Kontradiksi ini kemudian mendaging menjadi warisan diplomatik yang masih terasa hingga hari ini. Di satu sisi, dukungan Indonesia terhadap Palestina ditampilkan dalam berbagai bentuk ekspresi emosional dan simbolik---dari boikot forum hingga pengiriman bantuan kemanusiaan. Namun di sisi lain, strategi diplomatik Indonesia terhadap konflik Israel-Palestina cenderung stagnan dan enggan membuka ruang komunikasi strategis yang inklusif, bahkan dalam kerangka mediasi atau inisiatif perdamaian. Pendekatan ini tidak lepas dari pengaruh kuat narasi populer yang berkembang sejak era Soekarno, termasuk kutipan yang sering digaungkan:
Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.
Pernyataan tersebut, yang ironisnya tidak ditemukan dalam dokumen pidato resmi Bung Karno, dan lagipula mengandung struktur pasifistik dalam diksi "kemerdekaan... diserahkan"---seolah-olah kemerdekaan Palestina adalah hasil pemberian pihak luar, bukan hasil perjuangan aktif rakyatnya sendiri. Ini bertentangan dengan filsafat revolusioner Soekarno yang justru menekankan pentingnya nation-building melalui perjuangan dan emansipasi aktif. Meski kutipan tersebut mungkin dimaksudkan sebagai ekspresi solidaritas moral, dalam praktiknya ia menjadi dogma normatif yang menahan fleksibilitas diplomatik Indonesia dalam menjangkau semua pihak. Termasuk warisan diplomatis Retno Marsoedi, mantan Menteri Luar Negeri RI, yang gagu menanggapi peristiwa 7 Oktober 2023 silam. Narasi simbolik ini---yang didaur ulang tanpa kritik mendalam---sering kali dijadikan alasan pembenaran untuk tidak menginisiasi pendekatan yang lebih strategis, termasuk membuka kanal komunikasi diplomatik dengan Israel dalam konteks penyelesaian konflik secara menyeluruh.
Pada masa Orde Baru, misalnya, Presiden Soeharto dan Menlu Ali Alatas telah membuka saluran komunikasi diam-diam dengan Israel---seperti pertemuan Alatas dengan Shimon Peres di PBB tahun 1993 serta kerja sama teknis bidang pertanian dan pertahanan---yang menunjukkan adanya pragmatisme di balik layar. Namun ketidaksesuaian antara retorika publik dan praktek diplomasi ini tidak pernah diurai secara terbuka oleh aktor-aktor kebijakan luar negeri Indonesia.
Saat ini, diplomasi Indonesia tetap terjebak dalam lanskap simbolik yang lebih berakar pada emosi publik ketimbang kalkulasi strategis. Akibatnya, posisi Indonesia dalam konflik Israel-Palestina masih sebatas solidaritas moral, bukan fasilitator aktif yang mampu memediasi atau mempengaruhi jalannya penyelesaian. Tanpa pembacaan ulang terhadap narasi-narasi yang sudah mapan dan pembongkaran mitos-mitos kutipan yang tidak produktif, Indonesia akan terus terjebak dalam diplomasi perasaan---yang nyaring, namun tak berdampak substantif.
Emansipasi Praksis dan Otonomi Intelektual
Perdebatan mengenai Palestina telah lama dikunci dalam ruang gema yang dibentuk oleh sentimen, moralisme, dan simbolisme yang repetitif. Intensitas emosi kita seringkali dijadikan tolok ukur keberpihakan, seolah-olah semakin keras teriakan solidaritas, maka semakin kuat keberpihakan kita. Namun, solidaritas sejati bukanlah repetisi seremonial, melainkan pengorganisasian pengetahuan dan strategi. Saatnya menyatakan dengan jujur: membela Palestina bukanlah soal ekspresi emosi, melainkan soal visi dan kapasitas taktis.
Sayangnya, kita di Indonesia masih belum benar-benar tahu apa yang sedang terjadi di Palestina dan Israel. Narasi yang dikonsumsi publik cenderung satu arah---disaring dari media, aktivis, atau relawan yang berbicara dari sudut tertentu, dan seringkali telah terlebih dahulu dikonstruksi oleh posisi ideologis tertentu. Sebaliknya, kita tidak pernah benar-benar tahu bagaimana suara rakyat Palestina di Gaza yang tidak setuju dengan Hamas; atau bagaimana rakyat Israel yang menolak militerisasi dan mendukung koeksistensi. Lalu muncul pertanyaan mendasar: Mengapa kita tidak punya kapasitas sendiri untuk mencari tahu?
Hingga hari ini, Indonesia belum memiliki lembaga riset independen atau konsorsium akademik-diplomatik yang mampu menjalankan survei persepsi dan preferensi publik di kawasan konflik, sebagaimana dilakukan Pew Research Center atau Gallup. Bahkan diplomasi kemanusiaan kita pun tak memiliki desain etnografis atau instrumen untuk menggali suara rakyat secara langsung, baik di Tepi Barat, Gaza, maupun komunitas Yahudi di Israel. Kita hanya memantulkan ulang suara-suara yang sudah kita pilih untuk dengarkan---dan itu bukan emansipasi, melainkan pantulan dari moralitas selektif.
Karena itu, kita harus bertanya, dengan kesadaran dan keberanian intelektual: apakah kita sedang membela Palestina, atau sedang membela citra kita sendiri sebagai pembela Palestina? Pertanyaan ini mungkin terasa tajam, tetapi justru esensial untuk membebaskan diskursus dari stagnasi moral. Yang tidak kita sadari adalah bahwa Palestina tidak membutuhkan pahlawan moralis, tetapi mitra strategis. Mitra yang tidak hanya membawa air mata dan poster, tetapi menawarkan desain perdamaian, gagasan lintas batas, dan strategi diplomatik jangka panjang.
Dalam konteks inilah, "retooling" ala Soekarno menjadi relevan kembali. Sebagaimana ia menyerukan perombakan struktural revolusioner seperti dalam Di Bawah Bendera Revolusi, kita pun perlu melakukan retooling epistemik dan strategik terhadap pendekatan kita membela Palestina. Bukan lagi hanya dengan mengibarkan bendera atau memboikot simbolik, tetapi dengan membangun kapasitas intelijen budaya, diplomasi lintas pihak, dan produksi pengetahuan langsung dari lapangan.
Salah satu cara untuk memulai adalah dengan mendengar. Dalam sebuah wawancara dokumenter yang dirilis secara visual daring---seperti kanal YouTube Corey Gil-Shuster---kita mendengar secara jujur, ragam suara dari kedua pihak. Ada rakyat Palestina yang menyampaikan keletihannya terhadap konflik yang tak berujung. Ada rakyat Israel yang mengungkap keinginan hidup berdampingan. Inilah suara-suara yang sering absen dalam ruang publik kita. Inilah kemanusiaan yang tertinggal karena politik simbolik.
Maka pertanyaannya bukan lagi apa yang kita rasa terhadap Palestina, melainkan: apa yang bisa kita bangun---dengan kepala jernih dan hati terbuka---untuk mendekatkan perdamaian sebagai kenyataan, bukan sekadar seruan. Hanya dengan menggabungkan etika keberpihakan dan otonomi intelektual, perjuangan Palestina dapat benar-benar menjadi bagian dari emansipasi praksis kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI