Ketiga, keresahannya saat bulan Ramadhan yang condong pada opini pribadi. Kita mengerti bila JPZ tidak paham esensi membangunkan sahur bagi bocah-bocah kampung, barangkali karena ia pun tidak pernah ikut serta di dalamnya. Sebenarnya yang dilakukan bocil-bocil sama dengan sidak pagi bilamana kita pernah mengetahui kehidupan di balik asrama; yakni demi kepentingan bersama untuk bangun pagi atau sahur dalam kasus bulan Ramadhan. Secara logis, keresahan JPZ merupakan opini bawah sadar bahwa ybs tidak memiliki kepentingan terhadap seremonial yang dilakukan bocil. Sampai di sini perlu juga kita mengingatkan JPZ bahwa kognisi bocil berbeda dengan kognisi orang dewasa---kon iso mikir (memaklumi) ora, (JPZ)?
Keempat, perbuatan JPZ mengaku nabi baru memang sungguh kontroversial. Dari situ ia mungkin tidak berpikir bahwa pernyataannya dapat mengundang perdebatan bersama tiga perwakilan pemuka agama sekaligus. Namun, bila pernyataan JPZ benar menyatakan keseriusan untuk menegakkan sebuah amalan, hukum di Indonesia memandang bahwa pernyataan ini ialah perbuatan hukum yang tidak dilarang hukum (Zaakwaarneming).
Uraian yang sekiranya singkat ini saya buat khususnya bagi JPZ sendiri, apakah ia sudah memikirkan matang-matang bagaimana memperjuangkan penegakan amalan sebagai golongan yang berkarya mandiri? Menurut pemirsa?