Penulis pernah beranggapan bahwa JKT48 hampir tidak berkesan dalam bidang kesenian, apalagi lagu-lagunya yang "impor" meski sudah dalam bentuk terjemahan sering menabrak gendang telinga. Mereka baru "terselamatkan" sejak kehadiran Fransisca Saraswati yang punya bakat tarik suara bersama tim kecil---entah apa sebutannya---yang bernama JKT48 Acoustic; bersama Nadila, Rona, dan Aurel.
Paha yang mentereng sebenarnya pun pernah jadi bahasan yang memenuhi dinamika politik kebudayaan di masa itu, yakni kritik Manikebu terhadap gejala fetisysme budaya. Bagi kalangan FPI dan gerombolan alumni tukang demo berjilid-jilid, fetisysme adalah anggapan kelainan seksual atau syahwat setanisme. Sedikit ada benarnya, namun, kritik dasar Manikebu terhadap fetisysme juga menyasar pada Keris yang masih diyakini memiliki kekuatan supernatural. Ingatkah kita sebuah foto dimana Soekarno memperlihatkan Keris kepada Che Guevara?
Lain dulu lain sekarang, masyarakat masa kini tentu tidak lagi membawa-bawa keris sebagai ajimat. Lalu bagaimana dengan paha yang mentereng? Bagi orang yang sadar dan terdidik, hal itu hanya sebuah cara untuk menarik massa kalangan lelaki-lelaki pekerja yang kurang hiburan semata, karena memang mereka yang menjadi segmen pasarnya; jadi maksud fetisysme tersebut ialah seni menarik massa. Seandainya Manikebu masih ada, suruh saja mereka mengeritik Thor yang identik dengan mjolnir (palu sakti) di semua serial Marvel Studio.
Kedua, adab. Islamisme acap menganggap jika patung adalah kesenian syirik---ini tentu berkaitan dengan adab. Zonk! Jika kita kembali ke artikel-artikel Bung Karno yang kerap mengeritik islam(isme) sontoloyo, masyarakat unta dan masyarakat kapal udara, adalah sama membahas adab atau peradaban. Rakyat Indonesia di masa kemerdekaan misalnya belum sama sekali mengenal pesawat sebagai tanda melajunya peradaban. Sama halnya ketika seseorang hanya didoktrin islam dan sangat amat taat hingga menjadi intoleran, bagaimana mungkin ia mengenal seni patung sebagai tanda peradaban. Padahal peradaban Indonesia di masa lampau (klasik) erat kaitannya dengan pekerjaan pemahat hingga sampai saat ini kita mengenal candi-candi sebagai pusat peradaban klasik.
Secara singkat dan padat, penulis memberi gambaran bahwa sinisme seniman terhadap islamisme memang ada sebagai realitas politik sejak dulu. Apalagi di masa sekarang ini, identitas islam politik yang masih mentah kerap dimainkan untuk mendulang suara. Barangkali ini tanda bahaya sekaligus retropeksi bagi pekerja politik-budaya nasional. Masih mungkinkah kita beromantika-dinamika-dialektika?