Menjaring Pajak di Lautan Digital: Tantangan Baru Otoritas Fiskal Dunia
Oleh: Benito Rio Avianto
Analis Kebijakan Ahli Madya
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Di tengah samudra ekonomi digital yang tanpa batas, negara-negara kini menebar jala pajak untuk menangkap "ikan-ikan besar" --- raksasa teknologi global yang selama bertahun-tahun berenang bebas di lautan data tanpa pelabuhan fiskal yang pasti. Google, Meta, Netflix, hingga TikTok telah menjadi simbol dari kekuatan ekonomi baru yang tak mengenal yurisdiksi. Namun bagi otoritas pajak, mereka ibarat kapal hantu: hadir di setiap pasar, tetapi tak berlabuh di mana pun.
Gelombang Baru Pajak Digital
Laporan KPMG "Taxation of the Digitalized Economy -- June 2025" mencatat lebih dari 60 negara telah memberlakukan atau mengumumkan kebijakan pajak atas layanan digital atau over-the-top (OTT). Bentuknya beragam --- dari digital services tax (DST) di Eropa, withholding tax (WHT) di Asia, hingga significant economic presence (SEP) di Afrika. Pendorongnya sama: keinginan untuk mengembalikan keadilan fiskal di tengah dominasi korporasi global yang memperoleh keuntungan besar dari pengguna di berbagai negara, namun hanya membayar pajak di negara asal. Seperti halnya nelayan yang tak ingin kehilangan hasil tangkapan, negara-negara kini memperluas jangkauan "jala fiskal" mereka untuk menangkap nilai tambah digital yang selama ini lolos dari radar pajak.
Eropa: Dari Pelopor ke Penegak Disiplin Fiskal
Benua Eropa menjadi pelopor dalam mengatur pajak OTT. Prancis dan Italia menerapkan DST 3 persen atas pendapatan iklan digital, marketplace, dan penjualan data pengguna. Spanyol menargetkan tiga sumber utama: periklanan daring, layanan intermediasi digital, dan penjualan data. Inggris memilih tarif 2 persen bagi media sosial, mesin pencari, dan pasar daring dengan pendapatan lebih dari 25 juta poundsterling dari pengguna domestik.
Langkah tersebut bukan tanpa risiko. Amerika Serikat menuding DST sebagai bentuk diskriminasi terhadap perusahaan teknologi asal Silicon Valley. Namun bagi Eropa, keadilan pajak lebih penting ketimbang diplomasi perdagangan.
Asia: Dari Penonton Menjadi Pemain