Mohon tunggu...
Swarna
Swarna Mohon Tunggu... Lainnya - mengetik 😊

🌾Mantra Terindah🌿

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Cancel Culture" adalah Sebuah Konsekuensi

8 September 2021   14:23 Diperbarui: 8 September 2021   22:43 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila netizen berbicara, mau bagaimana lagi?

Memboikot atau apa artinya dalam bahasa Inggris? Oh ya, "Cancel Culture" merupakan budaya yang sudah ada sejak manusia diciptakan. Zaman sekarang sering kita dengar dengan kata blokir.

Memboikot atau memblokir ini biasanya terjadi karena ada ketidakselarasan, ketidaksesuaian, kegemasan dan segala macam yang bersifat kontra. 

Pemboikotan atau pemblokiran ini banyak cara yang digunakan, mulai dari komentar negatif secara terbuka, menyindir, bisa membiarkan atau tidak menggubris, dikecualikan bahkan dihapus dari pertemanan bila dalam suatu media interaksi maya.

Memboikot apakah juga termasuk dalam kategori perundungan? Entahlah mungkin harus ditinjau dulu dari beberapa kasus. Saya berburu kata cancel culture ini maka yang saya temukan pada wikipedia adalah budaya mengenyahkan terutama pada figur publik yang sudah melakukan sesuatu yang dianggap tidak pantas. Seperti yang terjadi pada SJ.

Sekilas melihat berita di televisi, saya sebagai penonton biasa, ada rasa geli ketika melihat wajah SJ yang sumringah. Komentar dalam hati mulai ramai. Ih kog mesam-mesem sih, mbok yang cool, ingat kasus.

Tapi mungkin dia juga merasa senang sudah "lulus" tidak ada salahnya, dan sepertinya karakter saat gembira ya begitu orangnya. Entah yang ada di dalam hatinya bagaimana. 

Kita juga tidak bisa menyalahkan SJ yang gembira dengan "kelulusannya" juga tidak bisa menyalahkan gelombang komentar negatif netizen bila gemas pada SJ, karena zaman sekarang sudah bebas berkoar-koar di media sosial walau ada UU IT. 

Kondisi itu harus diterima oleh SJ sebagai akibat dari suatu sebab yang sudah dilakoninya alias konsekuensi perbuatannya meskipun sudah diganjar masuk tahanan. 

Bukan berarti masyarakat sudah bisa menerima dirinya secara utuh, tahu sendiri kan hukum sosial itu kadang lebih tajam. jangan berharap sebuah keadilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun