Mohon tunggu...
Benediktus Jonas
Benediktus Jonas Mohon Tunggu... Guru - GURU

Writing is a call to serve others and love God. Because everything I have comes from God

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidup adalah Kumpulan Cerita

23 April 2018   17:39 Diperbarui: 23 April 2018   17:42 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tiada hari tanpa cerita," demikian pemuda asing itu berkata padaku. Aku sedikit heran. Sebab setelah diam hampir sejam dalam perjalanan pagi ini, ia kemudian membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu yang tidak kuduga. "Aku kurang setuju," jawabku. Bagiku setiap hari selalu sama. Hampir tidak ada yang baru yang kujumpai. Mentari bersinar di pagi hari kemudian terbenam di sore hari, orang-orang yang sama yang aku kujumpai, dan rutinitasku selalu sama, kampus-rumah. Apa yang baru? Apa yang menjadikan semua itu sebagai cerita. Sebab pengalaman hari ini sudah pasti adalah pengulangan dari pengalaman hari kemarin. Demikian kataku padanya.

             "Tidak, tidak, kamu keliru." Aku tambah heran. Kemudian ia melanjutkan. "Hari ini berbeda dengan hari kemarin." Aku mencoba diam, mendengar dia berargumen. "Apakah yang kamu rasakan pagi ini, sama dengan pagi kemarin?" Aku menjawab dengan penuh percaya diri. "Yah, pagi kemarin sama dengan pagi ini. Aku bangun dengan penuh kegamangan, tidak ada yang baru yang aku alami, semuanya sama." jawabku.

            "Rupanya kamu kurang merefleksikan pengalamanmu dan kurang sadar dengan keseharianmu. Jawabannya membuat aku sedikit jengkel. Tetapi aku berusaha menahan diri untuk marah. Ia berkata lagi. "Selama semalam tadi tubuhmu telah melepas miliatan ion. Ion itu kemudian diganti dengan ion-ion baru yang juga jumlahnya miliatan. Aku belum mengetahui dengan pasti dari mana datangnya ion dengan jumlah sedemikian banyak. Yang pasti dengan ion yang telah kita peroleh kita akhirnya bisa bangun kembali di pagi ini."

            Ia melanjutkan, "Tentang ion, hanyalah sebagian kecil. Adakah engkau mempunyai nafas buatan yang mejadi stok bagimu untuk bernafas di hari ini? Tidak ada bukan? Bisakah engkau menjelaskan padaku mengapa engkau masih memperolehnya di hari ini? Bukankah semuanya itu adalah cerita yang perlu kau tulis dan kau kisahkan selagi engkau masih bernafas?" Aku terpukau oleh penjelasan si pemuda. Tetapi aku masih sangsi dan berusaha mencari cela atas jawabannya. Setelah aku merenung, aku mencoba dengan sedikit parcaya diri. "Bukankah semua yang kualami di hari ini mengalir seperti air dan sudah seharusnya aku alami."

            Ia menjawabku, "Jangan suka mencari alasan dan kurangi menggunakan rasiomu. Terlalu sempit otakmu untuk bisa melukiskan semuanya yang kamu alami hari ini. Ada banyak yang tidak mampu kamu jelaskan, bukan? Apakah semua harus dijelaskan rasio? Tidak kataku. Justru ketika rasio tidak mampu melukiskan semuanya, kita hanya bisa berlutut di hadapan Tuhan, sembari berkata Terjadilah menurut kehendakmu, dan bukan seperti yang kukehendaki. Karena aku ini lemah dan tak berdaya, semua yang kubisa, hanyalah setitik dari yang tidak mampu kuselami dengan kemampuan nalarku."

            Kali ini aku menyerah. Si pemuda asing itu sungguh hebat. Ia mengajarku untuk bercerita. Cerita adalah tentang hidup yang aku alami hari ini. Cerita menjadi jembatan yang menghubungkan antara aku dan engkau. Cerita itu adalah tentang apa yang kadang tidak kupahami secara rasio dan aku dituntut untuk berlutut di hadapan yang Mahakuasa. "Dengan terus bercerita," kata pemuda itu, aku akan semakin mengerti kehidupanku, bahwa hidup itu ajaib dan hanya dimengerti ketika aku bersyukur pada Dia sang Pemberi hidup ini.

             Sebelum aku melangkah keluar dari taksi, si pemuda asing itu berpesan, "Jangan berhenti untuk bercerita, sekalipun ceritamu sederhana. Teruslah bercerita. Hanya dengan cerita, orang akan tahu bahwa di masa ini, ada orang yang suka bercerita. Bukan tentang orang lain ia bercerita, tetapi tentang dirinya, kelemahan, kerapuhan, dan kekuatannya. Dengan terus bercerita tentang dirinya, ia berharap semakin banyak orang mau bercerita tentang diri mereka dan pergulatan hidupnya sehari-hari. Sebab hidup

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun