Mondok, atau hidup di pesantren, selama ini lekat dengan citra positif: tempat memperbaiki akhlak, menanamkan nilai religius, dan menjauhkan anak dari pergaulan bebas. Tak sedikit orang tua yang menjadikan pondok pesantren sebagai “solusi akhir” ketika anak mulai menunjukkan gejala kenakalan atau mulai sulit diatur di rumah.
Namun, pertanyaannya: benarkah mondok selalu membawa anak lebih dekat kepada Allah? Atau justru, dalam kasus tertentu, malah menjauhkan?. Ini mungkin terdengar kontradiktif di tengah glorifikasi pesantren yang kian masif. Tapi realita di lapangan menunjukkan, tidak semua proses pendidikan di pesantren berujung pada pembentukan karakter yang lebih baik. Beberapa kasus justru menunjukkan sebaliknya: pondok menjadi tempat di mana anak-anak belajar menyembunyikan diri, berpura-pura taat, atau bahkan terjebak dalam perilaku menyimpang.
Pondok Sebagai “Tempat Penitipan Anak Nakal”?
Fenomena yang berkembang di banyak keluarga adalah menjadikan pesantren sebagai “penampungan” bagi anak-anak yang dianggap bermasalah. Dalam konteks ini, motivasi memasukkan anak ke pondok bukan dilandasi oleh semangat mencari ilmu agama, melainkan untuk menghindari konflik di rumah. Anak-anak yang dikirim ke pesantren tanpa persetujuan atau kesiapan batin, cenderung menjalani proses pembelajaran agama dengan rasa terpaksa.
Alih-alih mendekatkan diri kepada Tuhan, rutinitas ibadah yang dilakukan pun bisa terasa hampa. Sholat menjadi rutinitas mekanis. Mengaji tak lebih dari kewajiban yang harus diselesaikan demi menghindari hukuman. Dalam situasi seperti ini, pesantren justru berisiko menumbuhkan bentuk kesholehan semu berperilaku religius di luar, tapi kosong secara spiritual di dalam.
Isu Sensitif: Suka Sesama Jenis
Salah satu isu yang kerap dibicarakan secara terbatas di lingkungan pondok adalah fenomena ketertarikan sesama jenis. Dalam sistem yang menempatkan anak perempuan dalam ruang tanpa interaksi sehat dengan lawan jenis, tak sedikit yang mulai membangun hubungan emosional dan bahkan seksual dengan sesama santri.
Hal ini menjadi lebih rumit karena tertutupnya sistem pondok dan minimnya edukasi psikologis yang sehat terkait perkembangan remaja. Banyak anak yang tidak memahami perubahan dalam dirinya, merasa bersalah, namun juga tidak tahu harus bercerita ke siapa. Ketakutan akan stigma akhirnya membuat mereka memilih diam, sembunyi, dan melanjutkan perilaku yang menyimpang secara diam-diam.
Isu ini bukan isapan jempol belaka, sudah ada banyak kesaksian, baik dari mantan santri maupun pengamat pendidikan pesantren, mengenai kasus semacam ini.
Dalam tulisan ini saya mendapat kesaksian dari salah satu mantan santri yang sudah mengabdi di pesantren selama 4 tahun. Kebetulan pula sekarang beliau menjadi teman kuliah saya. Dalam kesaksian nya, Zahra (nama samaran) mengungkapkan bahwa dulu saat dia masih menjadi santri, sering kali mendengar isu penyimpangan seperti ini. Namun dengan rasa denial nya, Zahra berpikir bahwa tidak mungkin ada orang yang menyukai sesama jenis di dunia ini. Sampai suatu ketika dia melihat sendiri dengan mata kepala nya.
KRONOLOGI