Mohon tunggu...
Ben Sadhana
Ben Sadhana Mohon Tunggu... Pengecer Kata -

Penikmat malam yang selalu merindukan pagi IG : @ben_sadhana Twitter : @BenSadhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Landa

6 Agustus 2018   12:52 Diperbarui: 6 Agustus 2018   12:59 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terjadi lagi, putri majikanku langsung masuk ke kamarnya, mengunci diri. Biasanya tidak akan ada yang bisa merayu bocah yang baru beranjak remaja ini kalau sedang mendung suasana hatinya. Membiarkannya saja mengurung diri di dalam kamarnya hingga dia bosan karena merasa lapar dan menyerah, demikian wejangan orang tuanya. Namun meski dengan maksud untuk membina anak ke arah kedewasaannya, bagaimanapun aku tidak bisa berlaku setega itu.

"Non, ini baju gantinya," perlahan kataku sambil kuketukkan tangan ke daun pintu -- "baju seragamnya, biar saya cuci."

Tidak ada reaksi dari dalam.

"Saya taruh di depan kamar Non, bajunya. Makan siang sudah siap, kalau Nona mau makan." Kataku sambil meletakkan setelan bersih di meja vas depan kamarnya.

Sambil melanjutkan menggosok, kubayangkan wajah cantik majikan kecilku.  Meski dilahirkan di Indonesia, toh tidak mampu membendung genetik ibunya yang orang Australia kuat membentuk penampilannya, kulit bule yang bersih dan rambutnya yang merah keemasan menggenapi wujudnya menjadi gadis cantik.

Ibunya sendiri sudah naturalisasi menjadi warga Negara Indonesia, yang dilakukannya karena kecintaannya kepada negeri ini. Saya sesungguhnya lebih cinta kepada Indonesia daripada bapaknya Kinanthi, demikian suatu ketika ibunya bergurau ketika kami sedang berkumpul di kesempatan hari libur. Hal itu pulalah yang barangkali sebab mengapa ibunya yang bahasa lisannya sudah sangat Indonesia -- bahkan kuakui andhap asor jawanya membuatku takjub -- bersikukuh putrinya bersekolah di sekolah umum negeri, bukan sekolah internasional sebagaimana harapan ayahnya.

Suara denting sendok menyentuh mangkuk sayur, menghentikanku. Kutinggalkan meja gosok, mengayunkan langkah ke meja makan.

"Saya panaskan dulu sayurnya, Non."

"Tidak usah Yu, ini juga masih hangat." Katanya.

 Aku mengambil posisi agak jauh dari tempatnya makan. Kulihat lahap dia menikmati masakanku. Terbersit rasa syukur, bahwa semua anggota keluarga majikanku sangat menyukai masakanku. Tidak pernah kuterima permintaan khusus untuk dibuatkan masakan tertentu, semua pengaturan menu masak harian diserahkan penuh kepadaku. Termasuk anggaran uang belanja yang pengelolaannya sepenuhnya diserahkan kepadaku, sama sekali tidak pernah dipermasalahkan setiap bulannya. Sungguh kepercayaan yang harus selalu kujaga.

Aku baru saja mematikan kompor dan mencabut kabel rice-cooker ketika kudengar suara klakson. Bergegas aku menuju pintu pagar menyambut ayah dan ibunya nona kecilku. Sekilat tasnya sudah berpindah tersampir di pundakku. Kulirik jam di ruang tamu, jarum menunjuk angka 19.40. Kusiapkan handuk dan perlengkapan mandi, sementara kedua majikanku langsung masuk ke kamarnya. Demikianpun dengan meja makan yang kutata ulang, memastikan semuanya sudah lengkap, mulai sendok, garpu, kobokan dan serbet. Kulihat Kinanthi sedang asyik di depan televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun