"Kampreeettt" - sebuah teriakan nyaring memecah keheningan pagi di pasar Pon. Mereka yang ada di situ tak ketinggalan beberapa blantik yang tengah menegokan hewan dagangannya pun menghentikan aktivitas mereka, Â mengalihkan perhatian ke arah suara keras dan lantang itu.
Seorang anak sekitar tujuh tahunan usianya, Â dan satu lagi lebih tua sekira tiga sampai empat tahunan menyusul di belakangnya. Keduanya menyeruak liar menyibak kerumunan. "Kampreeet..." sekali lagi teriakan keluar dari mulut anak yang kecil dengan model rambut kuncung itu. Nafasnya memburu, Â matanya celingukan menjelajahi penjuru pasar hewan.
 "Itu Kampret," teriak anak yang besar,  sepertinya ia kakaknya. Telunjuknya mengarah ke seseorang bercaping menuntun sapi.  "Kampreeet,  jangan.... Kampreeet" tangisnya pun meledak seketika. Seorang laki-laki paruh baya yang bercaping usang dengan baju lurik yang sudah pudar warnanya,  dengan gambang-gambang tulang di dadanya merangkul kedua anak yang sudah mendekap erat kaki sapi yang dituntunnya itu. Â
Dengan mata nanar berkaca-kaca dan suara bergetar, "Kampret dijual dulu yo Le, Â buat bayar Simbokmu di rumah sakit," - butir bening jatuh membasahi pipinya menimpa kepala bocahnya."Besok kita tebus lagi, Bapak janji Le," Selanjutnya suasana hening seakhir kata-kata lelaki itu, Â dengan disaksikan mata-mata sembab di sekelilingnya.[BS]