Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang bapak yang makin tua dan bahagia

IG: @belfinpaians

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Ketika (Pelajaran) Bahasa Indonesia Menjadi Terlupakan

18 Januari 2021   08:01 Diperbarui: 18 Januari 2021   08:25 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebetulan saya mengajar di sebuah sekolah yang menerapkan kurikulum internasional. Sebuah kurikulum yang memang mengadopsi kurikulum yang diadaptasi dari pembelajaran internasional. Kata adopsi di sini (dugaan saya) justru menjadi sumber bencana karena beberapa hal. 

Pertama, adopsi ini yang membawa perubahan signifikan kepada sekolah, siswa, orang tua, dan guru. Kedua, adopsi ini yang nantinya dikhawatirkan lebih menitikberatkan pada konten, bukan value (nilai) yang diajarkan kepada siswa. Ketiga, adopsi ini yang mengubah pola pikir siswa menjadi tidak nasionalis, bahkan menjadi egois karena terlalu holistik, terutama kepada bahasa Indonesia.

Tulisan ini saya tulis sebagai refleksi pembelajaran, khususnya kepada diri saya sendiri sebagai guru. Lebih tepatnya sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ada ketakutan dan kekhawatiran mengenai masa depan guru Bahasa Indonesia. 

Ketakutan ini muncul bukan karena tidak akan adanya profesi guru Bahasa Indonesia di sekolah, namun lebih kepada esensinya. Apakah guru Bahasa Indonesia masih diperlukan ataukah hanya sebagai formalitas untuk melengkapi nilai-nilai dasar sebagai warga negara Indonesia. 

Lebih sederhananya begini, apakah mata pelajaran ini hanya dianggap seperti kacang yang tidak lupa pada kulitnya ataukah memang pada intinya masih menjadi hal yang diperlukan demi masa depan dan identitas bangsa. Kekhawatiran saya ini diperkuat lagi dengan minimnya kecintaan siswa kepada bahasanya sendiri dan mengganggap bahasa asing lebih menarik dan mengangkat prestise, serta kekinian. 

Ada sebuah lelucon yang seringkali terdengar yang mengatakan bahwa guru-guru Bahasa Indonesia yang ditemui di sekolah terlihat 'tua' dan klasik. Anggapan ini sepertinya terkesan negatif karena mengganggap mereka (baca: saya atau kami), enggan dengan perubahan, tidak menarik, dan begitu-begitu saja. 

Nah, anggapan ini menjadi semakin diperburuk ketika pelajaran Bahasa Indonesia bukanlah pelajaran favorit, tenggelam oleh populernya mata pelajaran yang lain. Bahkan yang lebih ironisnya, menyukai pelajaran Bahasa Indonesia tentu tidak memiliki prospek pekerjaan di masa depan. 

Minimnya penghargaan ini menjadi tantangan terbesar para guru Bahasa Indonesia untuk tetap eksis dan berwibawa di tengah kepungan mata pelajaran lain yang dianggap lebih layak di masa depan.

Nah ada sebuah pengalaman menarik yang saya temukan beberapa kali. Cerita ini mengenai respon siswa terhadap bahasa Indonesia. Bahkan, yang lebih menggelitik urat syaraf saya adalah konflik yang saya alami di kelas mengenai komentar siswa yang terkesan meremehkan dan merendahkan bahasa pemersatu ini. 

Waktu itu, terdapat seorang siswa yang sepertinya tidak begitu senang dengan pelajaran ini hingga pada akhirnya ia mengatakan kepada saya bahwa, "Tidak ada gunanya belajar bahasa Indonesia. Saya tidak berencana tinggal di Indonesia!". Bahkan ada pula yang sempat menanyakan, "Untuk apa mempelajari bahasa Indonesia, kan sudah dipakai sehari-hari!". Atau bahkan ada yang enggan berbicara, tetapi menulis komentar di buku catatannya, "Pelajaran ini tidak akan berguna di masa depanku!"

Ironis, tapi itulah kenyataan sekaligus tantangan yang kami hadapi, khususnya saat mengajar sisswa-siswi dengan latar belakang keluarga yang berasal dari keluarga mampu yang telah membiasakan diri dengan asimilasi budaya barat dan kebiasaan berbahasa Inggris sejak kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun