Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pamer

20 September 2022   00:51 Diperbarui: 20 September 2022   00:57 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pamer. Penyambutan yang meriah. Upacara yang meriah. Pakaian yang gagah. Persenjataan yang canggih. Pemakaman yang meriah. Itu semua adalah bentuk pamer. Pamer kuasa, pamer harta. Kesan umum yang diperoleh, decak kagum. Hasilnya? Yang pamer, merasa tersanjung. Yang menyaksikan, merasa terhibur sesaat, entah sehari atau setahun. 

Wajar kalau yang dipamerkan itu hal yang wajar. Tidak wajar kalau yang dipamerkan itu harta hasil jarahan, kuasa hasil jajahan, senjata hasil permusuhan. Ini semua berakar pada gerakan empat unsur dalam diri kita manusia: Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani.(4N, Kwadran Bele, 2011 ).

Pamer hal yang wajar, perlu untuk membangkitkan semangat harga-menghargai dari dua belah pihak, yang memamerkan dan yang menyaksikan. 

Pamer semacam ini hasil dorongan Nafsu untuk diperhatikan dan memperhatikan. Pamer untuk kebaikan, boleh dan harus. 

Pamer yang jadi pameran, biasa disiapkan dengan berbagai upaya untuk menarik perhatian. Ini hasil gerakan Nalar. Pikir dan atur sekian supaya orang yang menyaksikan, terperangah.

Pamer sesuatu biasanya ditujukan kepada banyak orang. Semakin banyak penonton, semakin puaslah si-pemrakarsa pameran. Pemakaman pun dijadikan ajang pameran kuasa dan harta. Ini hasil dorongan Naluri untuk dikagumi dan mengagumi.

Pamer diri sejauh demi mengajak orang lain untuk meneladani kehebatan jasa amal dan kasih, sangat diharapkan dan harus diadakan. Ini hasil gerakan Nurani yang murni untuk memamerkan kuasa kasih sejati.

Pamer harta yang ditakar dengan uang, misalnya rupiah, bernilai triliunan, kalau itu diperoleh dengan cara yang wajar, boleh dan sah-sah saja. Tapi kalau ditelusuri secara jeli, harta itu warisan dari leluhur yang pernah menjajah di sana-sini pada abad-abad yang silam, aduh, ini pameran yang menyakitkan, pameran hasil tumpahan darah. 

TUHAN, ampunilah kami insan ciptaanMu yang sering suka pamer bukan untuk mengagungkan Karya ciptaanMu tetapi hasil hinaan pada keluhuran tujuan adanya kami yang diadakan oleh DIKAU di bumi yang indah dan permai ini. Ampun, ampun, ampun!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun