Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Hidup" dari Sudut Pandang Filsafat (7)

20 Februari 2021   19:52 Diperbarui: 20 Februari 2021   19:54 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hidup pakai nalar. Nalar itu unsur dalam diri kita manusia untuk menata hidup kita berdasarkan pengalaman dan pengetahuan. Nalar itu anugerah dari TUHAN bersamaan dengan Nafsu,Naluri dan Nurani. Empat unsur ini berfungsi menggerakkan kita sehingga kita hidup. Kita makan karena ada nafsu. Pilih dan atur makanan itu karya nalar. Usahakan makanan bersama orang lain, itu karya naluri. Syukuri dalam ibadat adanya makanan itu karya nurani. Berhenti makan sama saja dengan berhenti hidup. Makan apa saja tanpa pilih, tanpa tahu manfaat makanan yang dimakan, berarti makan tidak pakai nalar. Makan tanpa ingat orang lain sama saja dengan makan tanpa naluri. Makan tanpa rasa syukur kepada TUHAN,  tanda makan tanpa nurani.

Nalar dipakai untuk kendali hidup. Pengalaman yang baik dipakai, pegalaman yang buruk dihindari untuk tidak diulangi. Ini karya nalar. Pengalaman diuji dengan pengetahuan. Perpaduan antara pengalaman dan pengetahuan ini dipakai untuk mengisi hidup demi hidup yang sehat, sejahtera. Hidup pakai nalar itu sering diungkapkan dengan istilah 'kearifan' atau 'kebijakan'. Dijadikan kata majemuk, 'arif-bijaksana'. Sayang, hidup ini sering dijalani dengan kurang arif, kurang bijak. Kurang pakai nalar. Banyak mala-petaka kita alami karena hidup kurang pakai nalar.

Suku Buna' di pedalaman Pulau Timor, seperti suku lain di mana pun saja, pakai nalar dalam hidup mereka. Orang Buna' buat kebun dengan sistim berladang berpindah-pindah. Sampai sekarang. Ladang dimiliki secara adat, tanah suku. Dari ladang inilah mereka hidup. Ada nafsu kerja mendorong mereka untuk bertahan hidup di tanah yang gersang. Ladang dikerjakan dengan sistim tebas bakar. Ditanami dua tahun berturut-turut. Bidang tanah itu dibiarkan selama dua tahun baru dikerjakan lagi. Selama dua tahun, belukar tumbuh subur, siap ditebas dan dibakar lagi untuk jadi kebun baru yang mampu menumbuhkan padi dan jagung serta ubi-ubian. Begitu terus berganti dari tahun ke tahun. Inilah nafsu berladang demi hidup. Nafsu ini diikuti dengan nalar, olah kebun itu turun-temurun dengan sistim yang sama terus, tebas bakar. Sampai sekarang mereka tidak memakai pacul untuk membalik tanah. Nanti tidak subur, menurut mereka. Dalam mempertahankan hidup melalui berladang ini, mereka bekerja secara gotong-royong. Inilah naluri tolong-menolong yang sudah berurat-akar. Sendirian, tidak mampu. Harus bersama. Kalau sudah panen, hasil pertama selalu dimakan sesudah dipersembahkan kepada YANG MAHAKUASA lewat upacara syukur panen. Ini karya nurani. Perpaduan nafsu, nalar, naluri dan nurani inilah yang menjadi dasar untuk saya tekun memikirkan filsafat, 4N. (Kwadran Bele, 2011). 

TUHAN MAHA-BIJAKSANA menyuruh kita hidup pakai nalar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun