Asing itu sementara, tidak abadi. Asing itu keadaan. Asing itu perasaan. Asing itu perjalanan. Asing itu petualangan. Dari dan ke. Dari satu keadaan ke keadaan lain. Dari satu tempat ke tempat lain. Asing terus? Tidak. Akan ada akhirnya. Kapan? Waktu perjalanan terhenti, itulah akhir keadaan asing dan rasa asing. Berarti ada berangkat, ada tiba. Benar. Berangkat dari mana tiba di mana? Kapan tiba? Pertanyaan demi pertanyaan ini sedang terjawab.Â
Setiap saat dalam hidup kita ini adalah saat berangkat dan saat tiba. Tibanya bisa setiap saat. Jadi berangkat itu bukan waktu lahir, bukan. Jam ini adalah jam berangkat dan jam tiba. Serentak, berangkat dan tiba jatuh bersamaan. Tiba dan berangkat juga bersamaan. Kalau begitu di mana yang namanya asing itu?
Asing itu karena kita manusia masih diliputi empat hal: NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI dalam kesementaraan, perkembangan, pertumbuhan, perjalanan.
Itulah hebatnya kita manusia, diberi keleluasaan untuk mengingini apa saja dengan NAFSU, boleh memikirkan apa saja dengan NALAR, bergaul dengan siapa saja  lewat NALURI dan merasakan ketenangan dalam NURANI. (4N, Kwadran Bele, 2011). Jadi keadaan asing ini suatu keadaan yang harus disyukuri karena terjadi tanpa kita minta dan tanpa kita rencanakan. Itulah yang namanya rahmat. Kita diberi kebebasan untuk mengalami keadaan asing ini dengan penuh dinamikanya, dan sering kita namakan suka-duka, untung-rugi, mujur-malang.Â
Hidup sebagai orang asing ada perasaan asing yang kurang kita pahami. Bayi mungil mulai panas, menangis, eh, ternyata karena gigi tumbuh. Mama dan bapa menyebut itu sakit. Padahal itu gelombang pertumbuhan. Kita orang dewasa pun ada yang  alami gagal ginjal, paru-paru luka, kaki-tangan lumpuh. Kita namakan penyakit, kemalangan, derita. Padahal ginjal memang pada waktunya gagal dan itulah proses.
Pribadi ini berhenti hidup dengan gagal ginjal, pribadi itu berhenti hidup dengan paru-paru hancur. Itu sering kita katakan, nasib. Padahal itulah proses. Itulah gelombang hidup dalam pengasingan menjelang tiba di tempat tujuan. Kita dengan keasingan dalam berpikir, menyebut itu celaka, sial, malang. Tidak. Itulah proses biasa.
Sebagai orang asing, kita tidak sendirian. Semua kita yang namanya manusia ini, asing, dan yang tidak asing itu hanya satu, DIA. SANG PENCIPTA itu ada terus bersama kita dan tidak pernah sesaat  pun jauh dari kita, tinggalkan kita. Kita ini anak,  DIA itu ibarat mama, kita tetap dalam gendonganNYA, pelukanNYA. Jadi, asing itu hanya perasaan, hanya keadaan yang kita sangkakan, padahal tidak, kita ini asli di dalam penyelenggaraan-NYA baik sekarang maupun sesudah kita tanggalkan dan tinggalkan kesementaraan kita masuk ke dalam kekekalan.