Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Semut" dari Sudut Filsafat

8 Agustus 2020   19:15 Diperbarui: 8 Agustus 2020   19:14 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Semut itu kecil. Kau macam semut mau lawan orang besar. Semut itu nama ilmiah untuk sukunya, Formicidae lalu dibagi-bagi lagi atas jenis-jenis seperti semut api (Tetraponera rufonigra), semut gula (Menomorium phacaonis), yah rupa-rupa dengan nama masing-masing untuk kepentingan ilmiah. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Semut itu kecil tapi disebut dalam berbagai sudut kehidupan sebagai contoh untuk perilaku manusia. Heran, sampai dalam Alkitab pun sempat disebut dua kali sebagai contoh untuk hidup rajin seperti semut dan jangan pemalas. Tiru semut. (Amsal 6:6-8; 30:25).

Semut hidup ramai-ramai, jalan beriring-iring dan tidak ribut. Seandainya mereka bersuara seperti jangkrik atau kodok, kita bisa tuli. Mereka gotong beban ramai-ramai sampai ada yang berdiri di atas beban itu tanpa sadar bahwa teman-teman jadi lebih berat. Semut itu bisa buat sarang yang besar dan kuat, busut betina dan busut jantan. Dari mana kekuatan begitu hebat untuk membuat sarang yang sering cukup sulit untuk dihancurkan oleh kita manusia karena campuran tanah dan serbuk begitu pekat sehingga padat dan liat. 

Semut jalan searah dan seiring. Mereka jalan bolak-balik dari mengangkut barang di tempat lain ke sarang mereka. Kalau berjumpa, saling bersalaman. Manusia disuruh untuk jalan beriring, antre menanti giliran. Pasti semut tidak tiru manusia, kitalah yang tiru mereka. Kita manusia karena terdorong oleh NAFSU yang tidak terkendali, sering dahulu-mendahului, sikut-menyikut itu barang biasa.

NAFSU kita mendorong kita untuk ingat diri sehingga lain gemuk lain kurus, lain sakit lain sehat, lain kaya lain miskin, lain mewah lain melarat, dianggap hal biasa. Ini tidak terjadi di dunia semut. Semut bangun rumah mereka, busut, secara gotong-royong dan diami bersama.

Manusia memakai NALAR untuk sendiri-sendiri rancang dan bangun kediamannya tanpa peduli lain di kolong jembatan dan lain di pencakar langit. Semut mempunyai naluri untuk bersalaman bila berjumpa. NALURI manusia sadar bahwa ada manusia lain di depan, di samping, di belakang. Tapi hilang waktu dan tidak ada manfaat untuk saling salam selalu. Heran, semut tidak saling menggigit dan saling membinasakan.

NURANI manusia tetap galau karena saling membinasakan antara sesama manusia itu seolah-olah wajar dan harus. Untuk siap saling membinasakan ini dibuatlah senjata bermacam-macam dari yang paling kuno sampai yang paling canggih untuk membinasakan sesama yang dilihat sebagai musuh dalam sekejap. 

Semut yang sekali pijit saja langsung hancur, hidup aman dan damai sesuai kodrat mereka, tapi manusia, dengan NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI yang sudah sangat lengkap dirancang dan diberi oleh PENCIPTA YANG MAHA BIJAKSANA, tetap disalah-gunakan. (Kwadran Bele, 2011). Apakah kita harus berguru pada semut?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun