Pekanbaru, 24 Juni. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menggemparkan ruang publik dan memicu polemik tajam: pemangkasan Rp306,7 triliun anggaran kementerian dan transfer ke daerah, sementara dalam waktu yang nyaris bersamaan, pemerintah juga mengumumkan peningkatan alokasi bantuan sosial (bansos) secara signifikan, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, bantuan langsung tunai (BLT), dan diskon tarif listrik.
Tentu saja, ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini kebijakan yang rasional dan terencana? Ataukah kita sedang menyaksikan gejala populisme fiskal---di mana narasi kesejahteraan digunakan untuk meraih dukungan jangka pendek, meskipun dengan ongkos jangka panjang yang mahal?
---
Pemangkasan Rp306 Triliun: Apa yang Sebenarnya Dipotong?
Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2025, Presiden Prabowo memerintahkan pemangkasan anggaran secara menyeluruh. Beberapa item besar yang dipotong termasuk:
Perjalanan dinas dan honorarium birokrasi
Belanja barang/jasa non-esensial di kementerian/lembaga
Dana transfer ke daerah, termasuk dana alokasi umum (DAU)
Program pembangunan jangka menengah, seperti pelatihan ASN, studi banding, dan beberapa proyek infrastruktur non-prioritas
Menurut Menteri Keuangan, kebijakan ini dilakukan untuk membuat anggaran lebih ramping dan produktif, serta untuk mengarahkan lebih banyak dana pada program perlindungan sosial dan infrastruktur dasar.
Namun, pemangkasan juga menimbulkan keresahan. Daerah merasa kehilangan kontrol fiskal, beberapa kementerian tidak bisa menjalankan target program, dan ada kekhawatiran soal turunnya kualitas layanan publik seperti pendidikan, pelatihan kerja, serta riset.