Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Pendidik, Penulis, dan Penggerak Literasi

Guru, penulis dan penggerak literasi yang percaya menulis adalah jejak sejarah diri sekaligus warisan nilai bagi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Sugar Coating: Strategi Bertahan Hidup Guru di Sekolah yang Antikritik

6 Oktober 2025   10:46 Diperbarui: 6 Oktober 2025   16:52 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik senyum dan tepuk tangan rapat guru, sering tersembunyi rasa takut yang tak diucapkan.
Saya tahu, karena saya pernah duduk di sana di kursi seorang guru baru yang sedang belajar membaca situasi. Semua tampak harmonis. Kepala sekolah memuji, guru-guru menimpali dengan tawa kecil. Setiap usulan disambut kalimat, "Setuju, Pak!" tanpa diskusi berarti.

Awalnya saya kira itu tanda kekompakan. Tapi ternyata, itu sekadar pertunjukan sopan santun yang terlalu manis.
Budaya sugar coating berbicara manis agar selamat, bukan agar sekolah lebih baik ternyata sudah mengakar.

Budaya Manis yang Menyembunyikan Luka

Di masa awal mengajar, saya sering mengusulkan hal-hal sederhana: cara baru mengajar, ide kolaboratif antar kelas, atau penataan jadwal agar lebih efektif.
Setiap kali berbicara, kepala sekolah hanya tersenyum dan berkata, "Bagus, nanti kita bahas." Tapi rapat berikutnya, usulan itu tak pernah muncul lagi.

Lama-lama saya ikut terbiasa. Saya belajar menakar kata, menyesuaikan nada bicara, dan memilih aman. Saya tak ingin dicap "guru baru yang sok tahu." Maka, saya ikut arus: tersenyum, mengangguk, dan berhenti bertanya.

Saya baru sadar, sugar coating bukan sekadar gaya bicara, tapi strategi bertahan hidup. Guru tahu siapa yang bisa diajak bicara, dan siapa yang sebaiknya tidak disentuh. Ketika kepala sekolah tidak siap dikritik, kata-kata manis menjadi tameng.
Di baliknya tersimpan lelah, kecewa, dan perasaan tak didengar.

Ketika Sekolah Kehilangan Keberanian Bertumbuh

Budaya sugar coating punya efek domino. Guru kehilangan semangat berinovasi. Ide baru hanya jadi catatan pribadi, tak pernah sampai ke forum resmi. Akibatnya, sekolah jalan di tempat.

Masalah di lapangan dari motivasi siswa hingga ketimpangan beban kerja tak pernah benar-benar diselesaikan. Dalam forum MGMP, banyak rekan guru mengaku mengalami hal serupa.
"Kalau kritik kepala sekolah, nanti nilainya jelek," kata seorang guru.
Teman yang lain menimpali, "Percuma, yang didengar cuma yang dekat dengan pimpinan."

Ketika suara kritis tak punya ruang, loyalitas pun tinggal formalitas. Guru hadir, mengajar, menandatangani absen, lalu pulang tanpa rasa memiliki. Mereka tetap tersenyum dan memuji program sekolah, tapi hatinya kosong.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang terbuka mendorong kepuasan kerja dan produktivitas guru yang lebih tinggi dibandingkan sekolah dengan budaya otoriter. Sebaliknya, ketika ruang dialog tertutup, muncul fenomena organizational silence, keheningan kolektif yang membuat sekolah kehilangan suara kritis dari dalam. Saya pernah menyaksikan sendiri betapa sunyinya suasana seperti itu, ketika guru memilih diam karena merasa tak ada gunanya berbicara.

Kepemimpinan yang Menumbuhkan, Bukan Menakutkan

Sekolah seharusnya menjadi ruang dialog yang hidup tempat di mana setiap guru bisa berbicara tanpa takut disalahartikan. Pemimpin sekolah ideal bukan hanya mendengar, tapi mendengarkan. Kritik seharusnya dilihat sebagai vitamin, bukan ancaman.

Namun faktanya, masih banyak kepala sekolah yang alergi terhadap kritik. Mereka lebih nyaman dikelilingi guru yang selalu mengangguk dan memuji, bukan yang berani menyampaikan pendapat berbeda. Akibatnya, rapat guru sering hanya menjadi ajang formalitas. Banyak ide bagus tenggelam sebelum sempat dibicarakan, karena guru memilih diam demi menjaga suasana "aman".

Saya pernah mengalami perbedaannya. Di sekolah berikutnya, kepala sekolah justru senang jika guru berdebat sehat. Rapat menjadi hidup. Kami saling menantang gagasan tanpa takut disalahpahami.
Dari situ saya belajar: penghargaan terhadap suara guru bukan formalitas, tapi fondasi kepemimpinan sejati.

Kepala sekolah yang mau mendengar akan menumbuhkan guru yang mau berjuang.
Sebaliknya, pemimpin yang hanya ingin dipuji akan mencetak guru yang pandai berpura-pura.

Saat Guru Mulai Malas Bicara

Beberapa tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan rekan lama dari sekolah pertama. Ia bercerita, rapat kini berlangsung cepat. Tak ada debat, tak ada tanya-jawab. Semua sudah tahu alurnya: memuji, menyetujui, lalu bubar.

"Capek, kalau ngomong malah dicatat di hati," katanya sambil tersenyum getir.

Kalimat itu menampar saya. Ketika kepala sekolah tak mau mendengar, guru pun belajar untuk diam. Diam yang perlahan membunuh semangat kolektif. Diam yang membuat ide tak tumbuh dan inovasi berhenti.

Budaya ini lama-lama mengikis integritas. Guru tak lagi jujur tentang kesulitannya di kelas. Laporan dibuat rapi, tapi jauh dari kenyataan. Sugar coating akhirnya menjalar ke semua lini dari ruang rapat hingga lembar administrasi.

Menumbuhkan Keberanian untuk Jujur

Saya menulis ini sebagai refleksi pengalaman saat pertama kali menjadi guru. Dulu, saya juga memilih diam. Tapi waktu mengajarkan bahwa sekolah hanya akan tumbuh jika ada keberanian untuk jujur.

Keberanian untuk berkata, "Saya tidak setuju," tanpa takut dicap pembangkang.
Keberanian untuk mengakui kesalahan tanpa kehilangan harga diri.
Dan tentu saja, keberanian kepala sekolah untuk membuka telinga bagi suara guru.

Sugar coating memang terasa manis di permukaan. Tapi di baliknya, ada luka yang dalam.
Jika budaya ini terus dibiarkan, sekolah akan kehilangan rohnya: kejujuran, dialog, dan semangat belajar sejati.

Kini, ketika kita bicara tentang Merdeka Belajar, pertanyaannya bukan lagi sekadar tentang metode atau kurikulum.
Tapi: apakah kita sungguh merdeka untuk berbicara jujur di ruang rapat sekolah sendiri?

Mungkin sudah waktunya kita berhenti berpura-pura manis.
Sebab pendidikan sejati hanya bisa tumbuh dari keberanian untuk jujur meski terasa pahit di awalnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun