Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Pendidik, Penulis, dan Penggerak Literasi

Guru, penulis dan penggerak literasi yang percaya menulis adalah jejak sejarah diri sekaligus warisan nilai bagi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menu MBG Ala Daerah: Strategi Mengikat Selera Anak Sekolah

3 Oktober 2025   08:00 Diperbarui: 3 Oktober 2025   08:38 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak menikmati menu MBG. Sumber: Dokpri -Gen AI

Pernahkah kita melihat anak sekolah enggan menghabiskan makanan gratis yang disiapkan pemerintah? Padahal menunya sehat, bergizi, bahkan gratis. Masalahnya sering bukan pada gizinya, melainkan pada selera. Anak-anak sulit dipaksa makan jika menunya terasa asing di lidah.

Inilah tantangan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baru digulirkan pemerintah. Program ini ambisius: meningkatkan gizi anak sekolah sekaligus menekan angka stunting nasional yang pada 2023 masih berada di angka 21,5% (BPS). Namun agar tepat sasaran, MBG harus lebih dari sekadar menyediakan nasi dan lauk standar. Tantangan terbesar justru datang dari faktor yang sering diremehkan: selera anak.

Selera Anak Bukan Urusan Remeh

Banyak program gizi sebelumnya gagal karena tidak memperhatikan faktor selera. Anak-anak mungkin tahu makanan itu sehat, tapi tetap menolak jika rasanya hambar, tampilannya tidak menarik, atau berbeda dari kebiasaan makan sehari-hari.

Teman saya seorang guru di Bandung bercerita: "Kami menyediakan sayur sop bergizi untuk anak-anak, tapi yang dimakan hanya bakso di dalamnya. Wortel dan kentang ditinggalkan." Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya preferensi anak terhadap rasa dan bentuk makanan. Selera anak tidak bisa dipaksa, melainkan harus didekati dengan cara kreatif.

Pangan Lokal: Kaya, Beragam, tapi Terpinggirkan

Indonesia punya kekayaan pangan lokal yang luar biasa. Jagung di Nusa Tenggara Timur, tiwul di Gunung Kidul, papeda di Maluku dan Papua, singkong di Kalimantan, hingga kentang di dataran tinggi Dieng. Semua itu sumber karbohidrat yang sama baiknya, bahkan lebih sehat daripada nasi putih.

Sayangnya, kita terjebak pada pandangan sempit: makan berarti nasi. Padahal di banyak daerah, nasi bukan makanan pokok utama. Anak-anak NTT tumbuh sehat dengan jagung bose. Anak-anak Papua terbiasa makan papeda dengan kuah ikan kuning.

Jika MBG hanya berpusat pada nasi, peluang emas memperkenalkan pangan lokal akan hilang begitu saja.

Anak dan Dunia Selera

Anak-anak bukan mesin yang bisa diprogram hanya dengan angka gizi. Mereka punya dunia rasa sendiri. Selera terbentuk dari rumah, lingkungan, bahkan iklan makanan cepat saji yang setiap hari menggoda lewat layar ponsel.

Ada tiga hal penting tentang selera anak:

  1. Makan dengan mata lebih dulu.
    Warna, aroma, dan tampilan sering lebih menentukan daripada rasa. Singkong kukus polos bisa ditolak, tapi singkong goreng keju bisa langsung jadi rebutan.
  2. Selera = identitas keluarga.
    Anak cenderung lahap pada makanan yang mirip dengan apa yang biasa dimakan di rumah. Menu asing sering ditolak, bukan karena tidak enak, tetapi karena tidak akrab.
  3. Peer influence lebih kuat dari gizi.
    Jika beberapa anak tampak menikmati papeda, teman-temannya cenderung ikut mencoba. Sebaliknya, jika ada yang mengejek "aneh", seluruh meja bisa menolak.

Inilah yang sering membuat makanan sehat di program pemerintah kalah pamor dibanding mi instan atau nugget beku: bukan karena gizinya, tetapi karena lebih dekat dengan dunia selera anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun