"Anak saya tidak akan saya kasih gadget."
Itu kalimat yang dulu sering saya ucapkan dengan penuh idealisme. Saya percaya, gadget hanya membawa dampak buruk: bikin anak kecanduan, malas belajar, dan kehilangan dunia bermainnya. Saya bayangkan anak saya kelak sibuk dengan buku cerita, main puzzle, atau lari-larian di halaman rumah.
Namun, semua keyakinan itu runtuh ketika saya benar-benar menjadi orang tua.
Idealisme Sebelum Punya Anak
Sebelum menikah, saya rajin membaca artikel parenting, mengikuti seminar, bahkan berdiskusi di forum ibu muda. Satu pesan yang selalu diulang: "jangan kasih gadget sebelum waktunya." Rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun sejalan: tidak ada screen time untuk anak di bawah usia dua tahun, lalu maksimal satu jam per hari untuk usia 2--5 tahun.
Saya mengamini panduan itu. Saya percaya, anak akan tumbuh lebih sehat jika jauh dari layar. Rasanya menjadi orang tua ideal adalah tentang disiplin menjaga anak dari gadget. Tidak ada ruang kompromi.
Realita Setelah Anak Lahir
Anak pertama saya lahir. Menginjak usia toddler, rumah jadi penuh riuh. Sebagai ibu, saya sering rempong: memasak, membereskan rumah, bekerja, bahkan mengurus adik bayi yang datang lebih cepat dari rencana. Saat itu, biasanya suami saya yang turun tangan menemani anak bermain. Namun, suami pun manusia. Ada kalanya ia sibuk, kelelahan, atau terikat pekerjaan lain. Di titik itulah gadget hadir sebagai penyelamat mengisi celah ketika kami berdua tak bisa sepenuhnya hadir. `
Awalnya ada rasa bersalah. Bukankah saya dulu berjanji untuk tegas "no gadget"? Namun rasa bersalah itu berangsur berubah ketika saya melihat manfaat kecil yang tak saya duga. Anak saya mulai menyebut kosakata bahasa Inggris sederhana hanya dari menonton animasi Bebefinn. Ia juga menghafal lagu anak-anak yang bahkan saya sendiri sudah lupa. Dari momen itulah pandangan saya mulai bergeser.
Sisi Positif Gadget
Saya mulai sadar, gadget tidak selalu jadi musuh. Jika diarahkan, ia bisa jadi pintu belajar. Anak saya belajar warna, bentuk, angka, dan bahkan melatih telinga untuk bahasa asing. Di zaman yang serba digital, melarang total anak dari gadget justru bisa membuat mereka tertinggal.
Pergulatan Batin Orang Tua
Meski melihat manfaat, saya tetap dihantui rasa bersalah. Bukankah dulu saya berjanji akan "no gadget"? Bagaimana dengan risiko kecanduan? Bagaimana dengan perkembangan sosialnya? Dari sinilah saya belajar bahwa orang tua harus fleksibel: bukan hitam-putih, tapi mencari jalan tengah.
Saya mulai membuat aturan:Â screen time dibatasi, konten diseleksi, dan sebisa mungkin tetap mendampingi.
Data dan Fakta yang Membuka Mata
Ternyata dilema saya bukan hal yang asing. Survei APJII 2025 menyebutkan pengguna internet Indonesia sudah menembus 229,4 juta jiwa dengan penetrasi 80,66% populasi. Lebih dari separuhnya berasal dari kelompok usia anak dan remaja. Anak-anak memang sudah menjadi bagian dari ekosistem digital, suka atau tidak.