Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Pendidik, Penulis, dan Penggerak Literasi

Guru, penulis dan penggerak literasi yang percaya menulis adalah jejak sejarah diri sekaligus warisan nilai bagi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dari Anti-Gadget Jadi Pro-Gadget: Perubahan Pandangan Orang Tua

28 September 2025   16:45 Diperbarui: 28 September 2025   16:45 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu muda mendampingi anaknya menonton gadget, menggambarkan dilema antara idealisme parenting dan realita. Sumber: Dokpri - Gen AI

"Anak saya tidak akan saya kasih gadget."
Itu kalimat yang dulu sering saya ucapkan dengan penuh idealisme. Saya percaya, gadget hanya membawa dampak buruk: bikin anak kecanduan, malas belajar, dan kehilangan dunia bermainnya. Saya bayangkan anak saya kelak sibuk dengan buku cerita, main puzzle, atau lari-larian di halaman rumah.

Namun, semua keyakinan itu runtuh ketika saya benar-benar menjadi orang tua.

Idealisme Sebelum Punya Anak

Sebelum menikah, saya rajin membaca artikel parenting, mengikuti seminar, bahkan berdiskusi di forum ibu muda. Satu pesan yang selalu diulang: "jangan kasih gadget sebelum waktunya." Rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun sejalan: tidak ada screen time untuk anak di bawah usia dua tahun, lalu maksimal satu jam per hari untuk usia 2--5 tahun.

Saya mengamini panduan itu. Saya percaya, anak akan tumbuh lebih sehat jika jauh dari layar. Rasanya menjadi orang tua ideal adalah tentang disiplin menjaga anak dari gadget. Tidak ada ruang kompromi.

Realita Setelah Anak Lahir

Anak pertama saya lahir. Menginjak usia toddler, rumah jadi penuh riuh. Sebagai ibu, saya sering rempong: memasak, membereskan rumah, bekerja, bahkan mengurus adik bayi yang datang lebih cepat dari rencana. Saat itu, biasanya suami saya yang turun tangan menemani anak bermain. Namun, suami pun manusia. Ada kalanya ia sibuk, kelelahan, atau terikat pekerjaan lain. Di titik itulah gadget hadir sebagai penyelamat mengisi celah ketika kami berdua tak bisa sepenuhnya hadir. `

Awalnya ada rasa bersalah. Bukankah saya dulu berjanji untuk tegas "no gadget"? Namun rasa bersalah itu berangsur berubah ketika saya melihat manfaat kecil yang tak saya duga. Anak saya mulai menyebut kosakata bahasa Inggris sederhana hanya dari menonton animasi Bebefinn. Ia juga menghafal lagu anak-anak yang bahkan saya sendiri sudah lupa. Dari momen itulah pandangan saya mulai bergeser.

Sisi Positif Gadget

Saya mulai sadar, gadget tidak selalu jadi musuh. Jika diarahkan, ia bisa jadi pintu belajar. Anak saya belajar warna, bentuk, angka, dan bahkan melatih telinga untuk bahasa asing. Di zaman yang serba digital, melarang total anak dari gadget justru bisa membuat mereka tertinggal.

Pergulatan Batin Orang Tua

Meski melihat manfaat, saya tetap dihantui rasa bersalah. Bukankah dulu saya berjanji akan "no gadget"? Bagaimana dengan risiko kecanduan? Bagaimana dengan perkembangan sosialnya? Dari sinilah saya belajar bahwa orang tua harus fleksibel: bukan hitam-putih, tapi mencari jalan tengah.

Saya mulai membuat aturan: screen time dibatasi, konten diseleksi, dan sebisa mungkin tetap mendampingi.

Data dan Fakta yang Membuka Mata

Ternyata dilema saya bukan hal yang asing. Survei APJII 2025 menyebutkan pengguna internet Indonesia sudah menembus 229,4 juta jiwa dengan penetrasi 80,66% populasi. Lebih dari separuhnya berasal dari kelompok usia anak dan remaja. Anak-anak memang sudah menjadi bagian dari ekosistem digital, suka atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun