Bayangkan jika seorang menteri pendidikan membaca Laskar Pelangi sebelum merancang kebijakan sekolah. Ia mungkin lebih peka mendengar suara anak-anak di pelosok yang berjuang dengan papan tulis reyot dan guru seadanya. Atau bayangkan seorang pejabat kesehatan menamatkan novel Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata; mungkin ia lebih serius mengupayakan kesetaraan layanan kesehatan bagi masyarakat kecil.
Pertanyaannya sederhana tapi penting: apa jadinya jika pejabat kita rajin membaca novel, bukan hanya laporan birokrasi dan pidato yang ditulis staf?
Novel: Jendela Empati yang Hilang
Novel bukan sekadar hiburan atau pelarian. Ia adalah jendela ke kehidupan orang lain. Membaca novel membuat kita merasakan penderitaan, kegembiraan, dan dilema yang mungkin tak pernah kita alami sendiri.
Seorang pejabat yang membaca novel belajar melihat dunia dengan perspektif baru. Ia diajak berjalan dalam "sepatu orang lain": nelayan miskin di pesisir, guru honorer di desa, ibu rumah tangga yang berjuang melawan harga pangan. Buku fiksi membangun empati, yang sering absen dalam bahasa teknokratis kebijakan publik.
Kita bisa menengok Siti Nurbaya, yang mengisahkan benturan tradisi dan modernitas, atau Tetralogi Buru karya Pramoedya, yang menyingkap wajah kolonialisme dan perlawanan. Jika pejabat membacanya, mereka tak hanya membaca kisah, tapi juga denyut sejarah, luka sosial, dan harga kebebasan.
Krisis Literasi Pejabat Kita
Sering muncul kritik bahwa pejabat kita minim budaya baca. Memang, belum ada data resmi yang mengukur kebiasaan literasi para pemimpin negeri ini. Namun, potret literasi masyarakat secara umum bisa menjadi cermin.
Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Indonesia pada 2024 tercatat 73,52 poin, naik dari 68,19 pada 2023. Angka ini menunjukkan kemajuan, tetapi masih dianggap belum optimal.
Jika masyarakat umum saja masih berjuang meningkatkan literasi, wajar bila publik meragukan keseriusan pejabat dalam membangun budaya baca.Â
Bagaimana mungkin mereka bisa membuat kebijakan berbasis pengetahuan bila kegemaran membaca masih sebatas jargon? Sebab yang terlihat banyak yang lebih sibuk mengutip jargon motivasi atau kalimat viral di media sosial ketimbang membaca karya sastra atau buku serius.Â
Akibatnya, debat politik di ruang publik kerap dangkal, argumen berputar pada isu populer tanpa kedalaman analisis atau empati terhadap realitas masyarakat. Kebijakan publik pun lebih sering disusun berdasarkan angka statistik, bukan denyut kehidupan nyata rakyat.