Mohon tunggu...
Simon Lao Seffi
Simon Lao Seffi Mohon Tunggu... Guru - Belajar Menulis

Guru di SMAN 2 Fatuleu Barat, kab. Kupang, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguatkan Posisi Moral Sekolah

4 Agustus 2017   00:25 Diperbarui: 4 Agustus 2017   17:24 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persoalan moral remaja terus menggempur ruang pemberitaan media. Sebagai contoh, pada Oktober 2013 lalu, Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan merilis bahwa 60 persen lebih remaja sekolahan di Indonesia telah melakukan hubungan seks pranikah. 21 persen dari mereka melakukan kejahatan aborsi. Sumber yang sama juga merilis bahwa 14 ribu lebih remaja sekolahan terjebak dalam penggunaan narkoba dan obat – obatan terlarang. Bukan hanya itu. Remaja sekolahan yang membuly temannya, hingga aksi kekerasan, tawuran, merampok disertai kekerasan terhadap korban, sampai membunuh hanya karena hal remeh juga terus disuguhkan berita media. Terbaru, sesuai pemberitaan, sembilan pelajar SMA diberitakan berkomplot melakukan penjambretan dan pencurian handphone di sejumlah tempat di kota Kupang.

Tak pelak, persoalan moral yang membelit banyak remaja sekolahan ini kemudian menempatkan sekolah dalam posisi yang rawan tudingan. Karena remaja sekolahan yang tersandera persoalan moral umumnya telah melewati masa sekolah yang relatif panjang, gugatan kepada sekolah yang mengklaim dirinya sebagai tempat untuk memanusiakan manusia layak untuk dilayangkan.

Kentara memang, praksis bersekolah saat ini cenderung berorientasi pada nilai akademis yang akan tercetak dalam lembar ijazah. Tujuan pembelajaran relatif diarahkan berfokus pada capaian nilai ujian yang memuaskan. Prestasi akademis menjadi ukuran mutlak keberhasilan bersekolah. Jadinya, praksis bersekolah yang tereduksi mengabaikan proses pembudayaan nilai moral dalam upaya pembentukan siswa menjadi manusia berkarakter, manusia yang humanis, sesuai pandangan romo Mangunwijaya yang melihat pendidikan sebagai proses humanisasi (pembudayaan) dan proses hominisasi (pemberdayaan).

Hemat penulis, watak sekolah tanpa roh humanisasi ini juga dipicu oleh konten kurikulum nasional yang dianut sekolah formal saat ini. Standarisasi kurikulum yang ikut diselundupkan melalui elemen instrumen pengukuran keberhasilan bersekolah ternyata memiliki indikator dominan yang cenderung mengondisikan siswa agar sekedar memiliki pengetahuan semata. Jejak yang demikian terbaca pada instrumen pengukuran yang mengusung model soal pilihan berganda sehingga watak soal cenderung berkutat pada pengujian pengetahuan kognitif level rendah. Padahal, mengutip Benjamin Bloom, Adi Gunawan dalam ‘genius learning strategi’ membagi perkembangan kognitif dalam enam level, dimulai dari tingkat pengetahuan, pengertian, aplikasi, analisis, sintesis, dan terakhir, evaluasi sebagai level perkembangan kognitif yang paling kompleks. Pengetahuan kognitif siswa pada level yang tinggi, termasuk penilaian terhadap sikap moral siswa, hanya terbaca saat pembelajaran dan juga sepanjang proses bersekolah.

Alat ukur yang demikian relatif tidak memberi tempat bagi aspek sikap moral sebagai yang utama dan paling penting dari ukuran keberhasilan bersekolah. Sekedar pengetahuan moral yang diukur menggunakan instrumen yang menghasilkan angka. Ukuran kualitatif cenderung mengambang mengikuti preferensi dan sentimen subyektif guru. Alhasil, upaya konstruksi karakter moral mendapat porsi yang tak layak dalam penyelenggaraan sekolah. Nilai – nilai moral cenderung mendapat posisi sebagai pengetahuan semata. Belum lagi jika tampilan sikap guru dan pembelajaran dikemas dalam kondisi yang tidak akomodatif bagi kebutuhan pengembangan sikap moral siswa. Bukan rahasia jika pembelajaran yang demokratis, nondiskriminasi dan diiringi tampilan sikap guru yang santun dan simpatik masih menjadi barang mewah dalam penyelenggaraan pembelajaran di banyak sekolah saat ini. Padahal, banyak pakar pendidikan menegaskan bahwa sikap guru yang hormat dan simpatik terhadap siswa adalah pelajaran moral yang paling utama bagi mereka. Lebih jauh, Thomas Lickona dalam ‘Pendidikan Karakter: Panduan lengkap mendidik siswa menjadi pintar dan baik’ juga menjelaskan bahwa mengajarkan sikap menghormati sesama dan diri sendiri serta tanggungjawab sebagai bangunan dasar berbagai nilai moral yang akan diajarkan sekolah mesti dimulai dari memperlakukan siswa dengan hormat dan kasih sayang.

Akhirnya, akibat dari standarisasi isi dan evaluasi pembelajaran seperti yang sudah diulas di atas, segenap sumber daya sekolah cenderung diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi target. Inovasi dan kreativitas sekolah relatif tersandera dalam target yang demikian. Bisa ditebak, sekolah tidak akan memberi porsi waktu yang cukup untuk mengkonstruksi nilai moral menjadi karakter dan budaya anak bangsa. Padahal, karakter moral yang baik tidak bisa dilihat dari pengetahuan moral semata seperti yang terkesan dilakukan sekolah saat ini. Anda tentu sepakat bahwa siswa yang memiliki nilai 100 dalam mata pelajaran agama dan PKn belum tentu memiliki karakter yang baik

“Karakter adalah nilai – nilai operatif, nilai – nilai yang berfungsi dalam praktek”, tulis Thomas Lickona. Karakter yang baik akan menjadikan siswa mampu mengontrol diri (hasrat, nafsu) agar dapat melakukan hal yang benar pada orang lain. Menurut Lickona, karakter terbentuk dari tiga elemen yang saling berkaitan yakni pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Karakter yang baik terdiri atas pengetahuan terhadap kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan. Menurutnya, kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan perbuatan penting dalam menjalankan kehidupan menuju kematangan moral.

Karena itu, hemat penulis, sekolah harus menginisiasi dan melakukan beberapa langkah berikut untuk menguatkan posisi moralnya dalam kehidupan sosial masyarakat saat ini. Pertama, sekolah harus membangun komunikasi dan kerja sama yang terukur dan berkelanjutan dengan orang tua siswa (melalui komite sekolah) agar, selain lingkungan pergaulan dan aktifitas siswa ikut terpantau, juga, pendidikan parenting melalui diskusi – diskusi kolaboratif atau sejenisnya intens dilakukan sehingga pembimbingan anak yang bersandar pada pemahaman yang mendukung atas perkembangan emosi dan psikologi dilakukan orang tua atau keluarga.

Yang kedua, dan cenderung radikal, sekolah mesti mendesain agenda pendidikan moral yang optimal memberi porsi bagi pemahaman moral, pembentukan perasaan moral, dan pembiasaan tindakan moral. Agenda moral yang demikian mesti diprogram agar berkelanjutan dan terukur. Elemen pengetahuan dan pembentukan perasaan moral mesti diakomodasi melalui kegiatan yang lepas dari konten semua materi pelajaran sesuai arahan kurikulum yang berwatak standarisasi. Pendekatan doktrin nilai moral melalui studi kasus maupun diskusi yang dialogis dan demokratis bisa jadi pilihan metode yang efektif. Dalam tataran praksis tindakan moral, rumusan tindakan yang lahir dari komitmen sikap moral bersama warga sekolah mesti diawasi dan dievaluasi secara rutin.

Tidak mudah memang untuk menerapkan tawaran radikal ini. Kecuali jika struktur kurikulum direvisi secara total agar porsi upaya konstruksi bangunan karakter moral anak bangsa mengakomodasi ketiga elemen pembentuk karakter di atas, segalanya akan mudah. Karena itu, pada posisi ini, diperlukan langkah berani setiap satuan pendidikan untuk mendesain model pendidikan karakter moral diluar dari arahan kurikulum Nasional. Memangkas porsi waktu dan konten dari materi pelajaran yang isinya tidak relevan dengan kebutuhan rill sektoral dan minat anak bangsa bisa jadi pilihan skenario agar kebutuhan pembudayaan karakter moral juga mendapat tempat.

Pada akhirnya, jika kita sedikit berani ‘mengangkangi’ arahan kurikulum Nasional yang cenderung mengabaikan aspek humanisasi, gempuran pengaruh teknologi media dan lingkungan yang sarat profokasi pornografi, hedonisme, pemujaan terhadap kekerasan, dan watak antimoral lainnya terhadap anak bangsa relatif mudah dihadang. Dengan begitu, sekolah boleh berbangga diri sebagai lembaga yang berperan memanusiakan manusia.

Ayo, sekolah mana yang mau memulai...?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun