Zahra Tyana/Mai satus/Nicken Yudit
Di tengah gemuruh kemajuan teknologi dan hiruk pikuk globalisasi, satu nilai fundamental tetap menjadi fondasi peradaban yang beradab: Hak Asasi Manusia (HAM). Bukan sekadar jargon politik atau konsep abstrak, HAM adalah inheren dalam diri setiap individu sejak dilairkan. Ia adalah pengakuan atas martabat kemanusiaan yang tak dapat dicabut, di mana setiap orang berhak atas kehidupan yang layak, kebebasan berpendapat, persamaan di hadapan hukum, dan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi serta kekerasan.
Sayangnya, realitas seringkali jauh panggang dari api. Pelanggaran HAM masih menjadi isu krusial di berbagai belahan dunia, terutama di negeri tercinta, Indonesia. Diskriminasi berbasis ras, etnis, agama, gender, dan orientasi seksual masih terjadi. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak terus menghantui. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tak jarang dibungkan dengan tragis!
Belakangan ini, industri hiburan anak di Indonesia dikejutkan oleh dugaan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan mantan anggota Oriental Circus Indonesia (OCI). Di balik sorotan terang sirkus, tersimpan banyak luka yang telah lama terpendam. Pasalnya, pengakuan dari mantan pemain sirkus di salah satu taman hiburan baru saja terungkap setelah waktu yang cukup lama. Kasus ini muncul untuk pertama kalinya setelah beberapa mantan pemain sirkus OCI mengajukan laporan resmi kepada Kementerian Hukum dan HAM mengenai dugaan praktik tidak etis dan kondisi kerja yang tidak manusiawi selama mereka beroperasi di bawah manajemen Oriental Circus Indonesia, yang saat ini diatur oleh Taman Safari Indonesia.
Aduan yang sangat menyedihkan ini bagaikan tamoaran keras pubagi dunia hiburan yang kerap kali terlupakan dalam sorotan mengenai isu ketenagakerjaan. Ungkapan mantan pemain OCI mengenai waktu kerja yang tidak manusiawi jika dibandingkan dengan gaji yang berada jauh di bawah standar yang wajar, serta suasana kerja yang dianggap minim regulasi, sehingga mengancam kebebasan individu, perlahan mulai terungkap kepada publik.
Komnas HAM, sebagai lembaga utama dalam perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, tentu tak tinggal diam. Setelah menerima laporan tersebut, penyelidikan komprehensif segera dilaksanakan. Lalu, bagaimana hasilnya? Terdapat banyak bukti kuat bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak bisa diabaikan. Temuan dari Komnas HAM mengungkapkan adanya perbedaan yang mencolok antara gambaran menyenangkan dari dunia sirkus di mata masyarakat dengan kenyataan pahit yang dialami oleh para pemain sirkus di belakang layar. Eksploitasi manusia, kondisi kerja yang menjatuhkan martabat manusia, serta kemungkinan pembatasan hak-hak mendasar menjadi hal utama yang terjalin dalam pengakuan para korban.
Kasus ini bukan hanya persoalan tentang hak kerja biasa. Pelanggaran ini adalah isu kemanusiaan paling merendahkan hak asasi manusia yang patut untuk dijadikan sengketa besar dan pantas untuk dikuak lebih dalam agar para korban mendapat haknya. Bagaimana mungkin puluhan atau bahkan ratusan individu yang menghibur ribuan khalayak ramai justru mengalami perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan kemanusiaan mereka? Sungguh miris. Pertanyaan inilah yang dirasakan banyak masyarakat di luar sana sehingga memicu gelombang amarah dan keprihatinan, serta menuntut keras keadilan ditegakkan.
Berdasarkan sejumlah wawancara dengan mantan anggota tim Oriental Circus Indonesia (OCI) yang menyatakan diri mereka sebagai korban dugaan pelanggaran hak asasi manusia, tanda-tanda pelanggaran tersebut mulai dirasakan dan dialami sejak mereka bergabung dengan manajemen OCI yang baru, yang kemudian berada di bawah naungan Taman Safari Indonesia.
Tanggapan segera dari Kementerian Hukum dan HAM dengan mengundang manajemen Taman Safari Indonesia menandakan komitmen pemerintah dalam merespons masalah ini. Kelompok masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia juga aktif mendukung mantan atlet OCI, meminta adanya keterbukaan dan akuntabilitas total dari pihak yang dinyatakan bersalah atas pelanggaran. Namun, masyarakat masih menunggu penjelasan serta tindakan nyata yang akan dilaksanakan oleh semua pihak terkait. Pasalnya, dalam wawancara terkait dengan pihak Taman Safari, masih adanya penolakan dan bantahan bahwa pihak OCI tidak melakukan apa yang diadukan oleh para korban.
Bantahan tersebut tentu menggetarkan amarah Masyarakat. Banyak bukti yang sudah terkuak, dan hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan berat bahwa pelanggaran HAM memang terjadi. Namun mengapa isu ini tersa masih terus ditutupi? Apakah penegakkan keadilan di Indonesia masih belum tegas sehingga dengan banyaknya bukti dan dukungan dari pihak korban, serta temuan dari Kemenkumham dapat dengan cepat menentukan siapa yang bersalah, siapa yang patut dibebankan tanggung jawab atas semua penderitaan batin dan mental dari para korban.
Jika ditilik ke belakang, banyak pasal-pasal yang dapat dijatuhkan kepada pihak yang bertanggung jawab mengenai kasus ini. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 33 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Kemudian, dugaan eksploitasi terkait upah dan kondisi kerja tidak layak dapat dijerat dengan Pasal 36 yang mengatur tentang hak setiap orang untuk bekerja, untuk mendapatkan imbalan, dan kondisi kerja yang adil dan layak. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 88 mengenai pekerja/buruh yang memiliki hak atas perlindungan kesejahteraan selaam bekerja, serta Pasal 90 juga mengatur mengenai pengupahan dapat dijadikan pertimbangan hukum jika pihak berwewenang sudah memutuskan siapa yang pantas bertanggung jawab atas masalah tersebut.