Pemanfaatan teknologi digital dalam pendidikan dasar semakin meluas sejak pandemi COVID-19 melanda dunia pada 2020. Anak-anak sekolah dasar kini tak asing lagi dengan pembelajaran melalui gawai dan aplikasi belajar daring. Namun, perkembangan ini memunculkan dua sisi yang bertolak belakang: di satu sisi, teknologi membuka peluang kreativitas dan pembelajaran yang menarik; di sisi lain, muncul kekhawatiran terhadap ketergantungan dan dampak negatif pada tumbuh kembang anak.
Laporan dari UNICEF Indonesia tahun 2022 menyoroti bahwa anak-anak usia sekolah dasar mengalami peningkatan signifikan dalam waktu penggunaan gawai selama masa pandemi, dengan rata-rata screen time melebihi 3 jam per hari. Akibatnya, banyak anak mengalami gangguan tidur, menurunnya minat belajar, serta berkurangnya interaksi sosial dengan teman sebaya (UNICEF Indonesia Annual Report 2022).
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Filipina, studi dari De La Salle University tahun 2021 menemukan bahwa lebih dari 60% siswa sekolah dasar merasa kesulitan memahami pelajaran secara daring karena tidak adanya interaksi langsung dengan guru. Sementara itu, di Korea Selatan, pemerintah telah menerapkan pendidikan literasi digital sejak tahun 2020 guna membentuk kesadaran anak tentang batasan penggunaan teknologi, perlindungan data pribadi, dan etika bermedia digital.
Di Indonesia, pembelajaran daring selama pandemi membuat para guru dan siswa harus beradaptasi cepat. Namun, menurut survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2021, sebanyak 56% guru SD mengaku masih kesulitan mengelola kelas daring karena kurangnya pelatihan penggunaan teknologi dan keterbatasan perangkat di rumah siswa.
Kota besar seperti Jakarta dan Surabaya menunjukkan peningkatan akses terhadap teknologi, namun daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih menghadapi tantangan serius dalam ketersediaan infrastruktur. Akibatnya, terjadi kesenjangan pembelajaran yang cukup tajam antara anak-anak di kota dan di pelosok.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam panduan resminya tahun 2019 menyarankan agar anak usia 5--12 tahun tidak menghabiskan waktu lebih dari dua jam per hari di depan layar, di luar kegiatan belajar. Namun, hasil studi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2022 menunjukkan bahwa rata-rata siswa SD di Indonesia menghabiskan 4--6 jam sehari menggunakan perangkat digital, termasuk untuk bermain gim dan media sosial.
Di tengah situasi ini, sejumlah sekolah mulai mengadopsi pendekatan hybrid learning untuk menyeimbangkan pembelajaran daring dan tatap muka. Sekolah Cikal, misalnya, telah menerapkan pendekatan ini sejak 2021 dengan fokus pada keseimbangan antara penggunaan teknologi dan interaksi sosial langsung di kelas. Program seperti ini menunjukkan bahwa teknologi dapat dimanfaatkan secara sehat bila disertai dengan pedoman yang jelas dan pendampingan yang kuat.
Pemerintah Indonesia juga meluncurkan program "Merdeka Belajar" yang mendorong integrasi teknologi dalam pembelajaran, serta pelatihan guru melalui Program Guru Penggerak yang diperluas sejak 2023. Meski begitu, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur dan literasi digital guru, siswa, serta orang tua.
Penggunaan teknologi dalam pendidikan dasar ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi membuka ruang inovasi dan pembelajaran kreatif; namun di sisi lain, jika tidak diawasi dan diarahkan, dapat menimbulkan dampak negatif jangka panjang terhadap perkembangan anak. Oleh karena itu, sinergi antara guru, sekolah, dan keluarga sangat diperlukan untuk memastikan teknologi digunakan secara bijak dan mendukung tumbuh kembang siswa secara optimal.
Artikel ini disusun sebagai tugas akhir mata kuliah Perspektif Global, Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Negeri Makassar.
Penulis & Editor:
Cipta Almairah
Marshanda
Lisda Yanti
Qhadial Hajar
Sultan
Nabila Yulianti