Kini tiga puluh tiga tahun telah berlalu dari wawancara itu. Saya masih tetap berpegang pada jawaban menjelang tahun 1988 itu. Saya ikut Yesus, karena Yesus mengasihi, memilih, menjadikan sukacita hidup. Atau kalau menggunakan bahasa Paulus  ,aku telah ditangkap oleh Yesus. "Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati. Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus" (Flp 3:10-12).
Dia yang menangkap Paulus, menawarkan dan mewartakan Bapa sebagai satu-satunya. Allah benar yang kasih-Nya tanpa batas, berkenan menjadikan sahabat. Saya, manusia, makhluk, oleh-Nya disapa dan dijadikan sahabat Allah, Sang Khalik. Wauw hadiah, kasih karunia, rahmat luar biasa. Rahmat ini yang mendorong untuk melakoni hidup seturut pangalaman eksistensial Paulus."Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.Â
Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. (Gal 2:20) Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. (Flp 1:21) Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia,(Flp1:29)
Apa yang dapat dipetik dari permenungan ini? Mengapa kristiani? Yesus Kristus yang hidup 2021 tahun lalu tetap sama, mengasihi, memilih, mensukacitakan hidup semua manusia, maukah menanggapi panggilan eksistensial-Nya?  Bagaimana mengaktualkan  kristianitas diri?
Yang menanggapi pilihan-Nya, hidup benar sebagai manusia benar dengan Allah benar yang kasih-Nya tanpa batas, hidupnya penuh syukur,  sukacita,  semangat, jadi berkat, pada saat untung dan malang, suka dan duka, sehat maupun sakit.  Ini  misteri. Pilihan-Nya.