Nama Adrian Gunadi dulu identik dengan inovasi keuangan digital. Sebagai salah satu pendiri Investree, ia pernah dielu-elukan sebagai pionir fintech P2P lending di Indonesia. Namun, kilau gemilang itu meredup seiring menanjaknya rasio kredit macet perusahaan yang ia dirikan.
Awal 2024, Adrian mundur dari kursi direktur. Banyak yang mengira ia hanya ingin rehat, tak sedikit yang menduga ada masalah lebih besar. Kini dugaan itu terbukti: sang mantan direktur justru berakhir sebagai tersangka kasus penghimpunan dana ilegal.
Penangkapan Adrian di Qatar, Rabu (24/9), bak babak klimaks dari drama panjang. Interpol RI butuh hampir delapan tahun untuk menuntaskan misi pemulangan. Jalur diplomatik yang biasanya memakan waktu hampir sedekade berhasil "diakali" lewat mekanisme police-to-police cooperation. Ini bukan sekadar kemenangan aparat, tapi juga pengingat: era digital tak membuat pelaku kejahatan keuangan kebal hukum, meski bersembunyi di luar negeri.
Kasus ini menyoroti rapuhnya pengawasan industri fintech. OJK memang sudah mencabut izin usaha Investree sejak Oktober 2024, memblokir rekening, dan menelusuri aset Adrian. Tetapi publik bertanya-tanya: mengapa proses penegakan hukum bisa selama itu?
Adrian kini ditahan di Bareskrim dengan ancaman 5--10 tahun penjara. Namun persoalan sesungguhnya bukan hanya tentang satu orang. Kasus ini jadi alarm bahwa inovasi finansial perlu dibarengi pengawasan super ketat. "Disrupsi" tak boleh jadi celah penyalahgunaan. Investor, regulator, bahkan konsumen perlu sadar bahwa gemerlap teknologi keuangan bisa menipu bila tidak diiringi tata kelola yang transparan.
Pada akhirnya, kisah Adrian Gunadi adalah pelajaran pahit: reputasi tak menjamin integritas. Dari ruang startup glamor ke sel tahanan, jaraknya ternyata sangat tipis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI