Opo aku salah, yen aku cerito, opo anane. Wong sing neng sandhingmu, ben melu krungu, piye tenane. Opo aku salah, yen aku kondho, opo anane.
Apa yang kamu pikirkan saat membaca paragraf pembuka tersebut? Ya, itu sebagian lirik lagu karya Didi Kempot, tatu. Boleh kamu bernyanyi dahulu, membaca tulisan ini nanti saja. Nyanyi dulu, baca kemudian.
Kita hidup pada zaman yang super transparan. Kejadian apapun dapat kita ketahui dalam hitungan detik. Sangat cepat. Lebih cepat daripada sebuah batu terjatuh dari puncak Semeru. Begitupun data pribadi. Dapat dilihat kapan saja oleh siapa pun dalam akun sosial media. Sayangnya, saya tidak menggunakan akun ungu, biru, dan burung. Cukup bertengger di sini saja.
Baiklah, saya mulai.
Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat atau lebih dikenal dengan kesejahteraan. Memiliki daya tarik untuk diperbincangkan. Menyangkut pemimpin dan program kerjanya. Tegas, brutal, cekatan, ramah, dan merakyat. Berdaya guna bagi masyarakat atau segelintir orang penting saja.
Pembangunan tol marak dijalankan pada masa pemerintahan Joko Widodo, saat ini pun masih bergerak. Bagus. Ini yang kita butuhkan. Menghemat waktu tempuh, mobilisasi orang lebih cepat, menurunkan harga kebutuhan pokok, efisiensi biaya bahan bakar, dan dampak positif lainnya.
Namun, ada saja pihak-pihak yang menolak program pembangunan jalan bebas hambatan ini. Mereka melontarkan kritik. Segi lingkungan, sosial masyarakat, anggaran, hingga faktor lainnya.
Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan taraf pendidikan masyarakat (program kesetaraan atau kejar paket), tak luput dari kritikus pemerintahan.Â
Peserta program kesetaraan bermalas-malasan, tutor kejar paket hanya lulusan menengah atas, materi pelajaran tidak relevan, dan masalah lainnya. Padahal manfaatnya sangat luar biasa. Para peserta menjadi lebih berpengetahuan, paham akan demokrasi, mengerti kewajiban sebagai warga negara Indonesia, dan sisi kelebihan lainnya.
Variatif. Begitulah isi dunia. Ada yang pro, ada yang kontra. Positif dan negatif. Indah bukan?