Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sabar dalam Kesempitan

26 Agustus 2017   09:25 Diperbarui: 26 Agustus 2017   09:40 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul Sabar Dalam Kesempitan,pada dasarnya adalah penggalan dari surat Al Baqarah Ayat 177, yang hendaknya diaktualisasikan dalam bentuk perbuatan nyata sebagai upaya menggapai derajat takwa. Mengapa demikian? Untuk memahami makna yang terkandung didalam judul dimaksud, izinkan aku menceritakan kisah nyata seorang kakek. Si kakek berusia sekitar 69 tahun, lahir di Metro Lampung, dan pernah menimba ilmu di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan tahun 1969.

Berikut kisah nyata si kakek. Saat si kakek menimba ilmu di Yogyakarta, beliau mendapat kabar kalau adik laki-lakinya dikeluarkan dari sekolah. Singkat ceritanya, adik laki - laki satu -- satunya ini diajak ke Yogyakarta.  Namun karena keluar dipertengahan tahun, adik si kakek sengaja tidak segera dipindahkan ke SMP di Yogyakarta. Pagi hari oleh si kakek, sang adik sengaja disuruh untuk pergi bermain. Tetapi sesaat kemudian, si adik pulang karena tidak ada teman yang dapat diajak bermain. Maklum, dipagi hari anak-anak di Yogyakarta umumnya sekolah. Untuk makannya, si kakek mengajari adiknya menanak nasi dan menyayur, khususnya membuat sop. Kalau pakaian kotor, silahkan dicuci sendiri. Kalau pakaian ingin licin, silahkan diseterika sendiri, kata si kakek lebih lanjut. Demikian seterusnya sampai mendekati tahun ajaran baru.

Satu bulan sekali si kakek dan adiknya membuat sop, terdiri dari sedikit daging dan banyak tulang -- tulang, serta sayuran. Setelah diajari sebelumnya cara memasak sop, akhirnya adik si kakeklah yang membuat sop. Tetapi sop belum akan dimakan, sebelum dicicipi oleh si kakek dan dikatakan kalau sopnya sudah enak. Sop ini hanya dibuat sebulan sekali, saat menerima uang bulanan dari orang tua. Bila sudah tanggal 20 sampai akhir bulan, sudah lain lagi menunya. Yang pasti makan dengan lauknya kangkung rebus dan sambal trasi, bergantian dengan tempe gembus ( tempe ampas kedelai ) dibacem dengan air agak banyak, sebagai kuahnya. Hal ini harus si kakek lakukan, mengingat keterbatasan dana yang ada. Bahkan tak jarang si kakek dan adiknya, makan hanya berlaukkan trasi bakar saja.

Pernah suatu malam si adik mengatakan, wah sialan mas trasinya dimakan tikus. Si kakek memalingkan muka sambil tersenyum. Mengapa? Begini kejadiannya. Seperti biasanya, si kakek berangkat pagi memberi kursus di Gaco ( Ganesa Course ) dekat jembatan Gondolayu Yogyakarta, si adik belum bangun. Ketika akan berangkat si kakek melihat masih ada sisa nasi tadi malam, dan juga sebutir kecil trasi bakar. Karena cepat -- cepat mau berangkat, si kakek sarapan dengan lauk trasi bakar itu. Tanpa membangunkan si adik, lalu berangkat memberi kursus dengan naik sepeda.

Seusai memberi kursus, langsung mengayuh sepeda menuju laboratorium untuk praktikum sampai sore hari. Sesampai di rumah dan pada malam harinya adiknya berkata, sialan mas trasinya di makan tikus. Sambil memalingkan muka si kakek tersenyum dan bertanya pura - pura tidak tahu, lho memangnya dimana meletakkan trasinya? Ya diatas meja itu, jawab si adik. Ya sudah lain kali kalau meletakkan trasi hati -- hati, supaya tidak dimakan tikus lagi. Maaf, sampai si adik meninggal, dia tidak tahu kalau si kakek yang memakan trasinya.

Jangan beranggapan yang disebut meja oleh adik si kakek tadi, merupakan meja makan layaknya meja makan pada umumnya. Tetapi meja yang dimaksud disini berupa, permukaan atas dari rak sebagai tempat menyimpan baju (kerennya almari pakaianlah), yang dindingnya terdiri dari kertas buffalo. Kenyataan lain yang bisa menjadi kenangan si kakek bersama adiknya laki -- laki adalah saat tidur. 

Si kakek bersama adik laki-lakinya kos di Dukuh Sendowo Blok D No. 68, menempati sebuah kamar berukuran 3 x 3 meter, dengan penerang lampu teplok kecil. Sebagai meja belajar, menggunakan kotak TV kabinet 19 inci yang sudah tidak dipakai. Demikian juga untuk tempat tidur, pinjam dan memperbaiki dipan yang sudah tidak dipakai oleh si empunya rumah, ukuran panjang 180 Cm dan lebar 80 Cm, dengan ram-raman berjarak 10 Cm, tanpa galar atau papan. 

Tidur si kakek dan adiknya diatas ram-raman dipan tadi, hanya dengan dialasi selembar tikar, dan sebagai bantalnya digunakan kaos olah raga yang dikumpulkan, maklum saat itu si kakek ditunjuk sebagai ketua olah raga di Dukuh tersebut. Meski tinggal berdua bersama adik, kalau tidur ya di dipan tersebut dan nyaman- nyaman saja. Dengan syarat, kalau berdua tidur dalam posisi terlentang atau miring sejak awal, sampai bangun pagi ya harus dalam posisi tersebut, kalau tidak ingin jatuh kelantai. 

Mendekati tahun ajaran baru, si kakek bertanya kepada adiknya. Apakah dengan kondisi seperti yang telah kamu alami selama disini, membuatmu betah tinggal di Yogyakarta? Dijawab betah. Walau disini serba sendiri dan dengan uang yang hanya pas -- pasan saja? Sedangkan di Lampung, kamu mau makan tinggal makan. Mau makan pakai lauk dan sayur sudah tersedia, tinggal makan. Mau pakai pakaian bersih terseterika, tinggal pakai tidak nyuci dan menyeterika  sendiri dan lain -- lain? Si adik menjawab, tetap mau tinggal di Yogyakarta apapun kondisinya. Karena si adik sudah mantap mau tinggal di Yogyakarta, akhirnya si kakek mendaftarkannya ke SMP BOPKRI di Sagan. Meskipun dalam kondisi sesempit itu karena keterbatasan biaya, toh si kakek dapat melaluinya dengan ikhlas dan sabar hingga lulus Sarjana. Sampai saat ini si kakek masih tetap menjalin silaturahmi, dan bahkan menganggap keluarga tempat kosnya dulu, sebagai keluarga si kakek sendiri. 

Kisah nyata si kakek terus berlanjut ke tingkat apoteker di Semarang, sebagai berikut. Kala itu tingkat apoteker Fakultas Farmasi UGM masih di Semarang, dan si kakek merupakan lulusan apoteker terakhir di Semarang. Disamping aktivitasnya ditingkat apoteker, si kakek juga dipercaya sebagai Koordinator Laboratorium UNTAG dan Sekretaris Sekolah Pengatur Analis (SPA) 1945 Semarang. Dengan demikian, kesibukan si kakek menjadi bertambah, meskipun begitu kegiatan baik di Fakultas maupun di SPA dapat berjalan lancar. Bersamaan dengan kesibukan mempersiapkan diri mengikuti ujian Apoteker, juga terlibat dalam ujian Negara Analis. Dalam ujian Negara Analis, si kakek ikut dalam kepanitiaan Ujian Negara, dan juga sebagai penguji praktek kimia. Disamping itu, si kakek juga harus mempersiapkan kesiapan laboratorium, demi kelancaran ujian prakteknya.

Kira -- kira 10 hari menjelang ujian Apoteker, si kakek menerima telegram dari Lampung. Singkat isi telegramnya, si kakek diminta segara pulang ke Lampung karena Ibu sakit keras. Sejak saat itu, kapanpun dan apapun kegiatan yang dikerjakan, bila mengingat hal tersebut air mata si kakek mengalir membasahi pipi tanpa terasa. Hal ini terjadi, karena dalam pikiran selalu terbayang kondisi orang tua yang pas -- pasan, namun bertekat menyekolahkan putranya sampai tamat. Si kakek mengibaratkan, orang tua menanam sebutir benih tanaman. Tanaman sudah berbuah, tinggal menunggu tua dan matangnya buah. Apakah ibu tidak dapat melihat dan atau menikmati buah tanaman, yang beliau tanam dengan menjual kalung emas 20 gram yang beliau miliki? Walau si kakek tahu, kalau orang tua tidak akan mengharap imbalan berupa materi dari anaknya, atas apa yang telah dikorbankan selama mendidik putra dan putrinya, sejak kecil hingga dewasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun