Mohon tunggu...
Muh. Ruslim Akbar
Muh. Ruslim Akbar Mohon Tunggu... Akuntan - Instagram @muhruslimakbar

Menulis untuk mengekalkan jiwa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kematian dan Psikologi Manusia

17 Februari 2023   15:46 Diperbarui: 17 Februari 2023   16:19 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: wallpaperflare.com

Penulis: Muh. Ruslim Akbar

Kematian bukan akhir dari segalanya. Kematian bahkan menjadi awal dari perjalanan hidup kita setelah bersinggah sementara di tempat kita saat ini, dunia.

Dalam kitab suci Al-Qur'an telah berkali-kali disebutkan tentang kematian. "Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu)," Q.S. Al-A'raf ayat 34. "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu," Q.S. Al-Jumuah ayat 8. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang bisa lari dari kematian. Firaun yang menganggap dirinya Tuhan juga mati. Seorang filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche yang terkenal karena perkataannya, " Gott ist tot," yang berarti "Tuhan telah mati," juga tidak mampu lari dari kematiannya.

Perihal kematian tentu saja memiliki interpretasi bagi setiap orang. Sebagian kita mengartikan Kematian sebagai hal yang berat dan menyakitkan, sebagaimana kata Ibnu Abi Ad-Dunya rahimahullah yang meriwayatkan dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu 'anhu dalam kitab Al-Maut, "Kematian adalah kengerian yang paling dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Kematian lebih menyakitkan  dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air mendidih di bejana. Seandainya ada mayat  yang dibangkitkan dan menceritakan kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak dalam tidurnya."

Namun ada pula yang siap menyambutnya dengan penuh rasa suka cita. "Kematian adalah jembatan yang menghubungkan orang yang mencintai dengan yang dicintainya," kata sang sufi, Jalaluddin Rumi.

Kematian adalah pengalaman spritual manusia yang lebih banyak ditinjau melalui pendekatan Teologi. Proses sakaratul maut, perjalanan panjang mulai dari Alam Barzah (alam kubur), Yaumul Ba'ats (hari kebangkitan), Yaumul Mahsyar ( berkumpulnya manusia di padang Mahsyar),  Yaumul Hisab serta Yaumul Mizan (hari perhitungan dan pertimbangan) hanya dapat ditelaah lebih jauh melalui pendekatan agama.

Lantas, bagaimana jika kita meninjau kematian melalui kaca mata psikologi? Serta pengaruhnya bagi psikologi manusia yang ditinggalkan atau sedang menunggu kematiannya. Sebagaimana tinjauan yang dilakukan Jalaluddin Rakhmat yang memandang bahwa agama jika dipandang melalui psikologi akan menjadi menarik dan manusiawi sebab melibatkan siapa saja dan di mana saja.

1. Efek duka dan kehilangan

Efek duka dan kehilangan seringkali menyerupai depresi dan beberapa orang terus mengalami depresi setelah menghadapi kehilangan yang signifikan. Individu yang ditinggalkan sering merasa terkejut, mati rasa, dan menyangkal, terutama jika kehilangan terjadi secara tak terduga. Bahkan jika orang tersebut mulai memahami realitas kehilangan, ia cenderung mengalami kesedihan yang mendalam, kehampaan, atau kesepian, dan terkadang kemarahan atau rasa bersalah.

2. Mengingat kematian, keadilan ditegakkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun