Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin memang ada jenis perempuan dengan fantasi yang ganjil. Mungkin Rara salah satunya. Kepadaku suatu hari ia berkata, "kubayangkan seorang lelaki berlari menerobos hujan lebat menuju rumahku. Ia lalu menempelkan kertas berisi puisi cinta untukku di pintu..."

Ia berhenti sekejap. Matanya jauh memandang hamparan sawah di muka rumahku, menembus hujan tipis di sore itu.

"Akan kuterima cintanya..."

Matanya lalu beralih menatapku. Sendu. Aku terkikik, lalu terbahak. Dia pasti sedang bercanda. Manalah mungkin ada perempuan segila itu. Tapi Rara bersungut. Matanya yang Pakistan sedikit membelalak. Indah. Luar biasa indah.

Rara teman belajarku. Suatu kali ia bilang, "kita belajar bersama, ya. Aku tak bisa matematika." Kuiyakan. Beberapa teman ikut bergabung kemudian. Kadang-kadang kami belajar di rumahku, rumah Rara, atau di rumah teman yang lain. Bergantian. Tapi tabiat anak sekolah menengah atas: belajar setengah jam, ngobrol tak tentu arah satu jam. Obrolan tak tentu yang membuat kami jadi jauh lebih mengenali satu sama lain. Aku jadi tahu apa olahraga favoritnya, makanan kesukaan, genre film dan macam-macam hal keseharian lain. Kuceritakan pula kepadanya tentang kesukaanku pada bunga-bunga liar, pada kupu-kupu. Iapun jadi tahu minatku yang tinggi kepada sastra, khususnya puisi, walau aku tak ingin kelak menjadi penyair. Aku hanya ingin untuk tetap menulis puisi. Ada beberapa kali kutunjukkan puisiku kepadanya, atas desakannya.

"Kebanyakan muram, ya?" Ia memberikan komentar.

"Memang hidupmu muram begitu?"

Aku tertawa kecil dan menggelengkan kepala. Kujelaskan kepadanya bahwa sejauh ini hidupku menyenangkan, dan aku bahagia. Hanya, aku suka memotret kemuraman. Bagiku kemuraman adalah cermin yang jernih untuk berkaca. Merenung. Ia berterus terang, bahwa ia tidak paham. Aku tertawa lagi. Ya, memang sulit untuk dijelaskan.

"Sekali-sekali, tulis puisi yang happy, ya?"

Hei, tunggu. Puisi! Mungkinkah Rara sedang mengirimkan tanda kepadaku? Tak terpikirkan olehku. Itukah sebab ia bersungut dan membelalak tempo hari? Tapi kenapa pula perlu kupikirkan?

Anak muda sehat wal afiat tentu tertarik pada Rara. Tubuhnya semampai, rambutnya panjang sepinggang. Ya, sepinggang! Gurat Timur Tengah,  Pakistan, atau semacam itulah,  tergambar kuat di wajahnya. Aku sehat, sudah barang tentu. Akan tetapi, bagaimana menggambarkannya? Rara itu jelita. Hanya, bagiku ia macam lukisan bermutu tinggi yang hanya boleh kunikmati dari kejauhan. Tak sedetikpun terpikir olehku untuk berusaha memikat hatinya, menjadi kekasihnya, lalu kelak menjadi suaminya. Tak. Jadi, khayalan tentang lelaki yang menerobos hujan itu benar-benar kuanggap sebagai canda. Canda yang segera kulupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun