Entah mengapa pagi itu anak-anak tak menghabiskan roti yang disediakan untuk sarapan. Tersisa sepotong roti di meja makan. Sepotong roti yang telah berlapis selai kacang.
Roti itu berdoa, sekhusyuk yang dia bisa, agar tak dibuang ke di tempat sampah. Berakhir di tempat sampah adalah kemalangan yang buruk bagi bangsa makanan seperti dia. Setiap makanan bercita-cita untuk berakhir di dalam tubuh manusia, menjadi energi atau gizi yang menyehatkan. Akan tetapi, selalu saja ada kejadian makanan bertemu dengan nasib yang mengenaskan.
Ibu dari anak-anak yang sudah berangkat sekolah itu menatap ke roti yang tersisa di meja. Perasaannya tak enak. Ingin sekali ia memakan roti itu, sebab menyia-nyiakan makanan adalah perbuatan tercela. Begitu ia diajarkan di madrasah diniyah dulu. Apa daya, perutnya telah kenyang. Ia mulai memikirkan untuk mengolah roti yang tersisa itu menjadi olahan yang bisa disantapnya sore nanti.
Sekonyong-konyong ia mendengar pagar dipukul-pukul seseorang. "Tak sopan betul orang itu," ucap sang Ibu dalam hati. Dengan agak kesal ia keluar. Ternyata seorang peminta-minta. Aneh, sepagi ini sudah ada peminta-minta.
Mendadak, ibu itu tersenyum. "Kebetulan," batinnya. Dibungkusnya sepotong roti yang tersisa itu, ditambahkannya dengan beberapa keping kue kering, air minum dalam kemasan dan sedikit uang. Diberikannya bungkusan itu kepada peminta-peminta.
Peminta-minta menerima dengan sangat suka cita. Sedari kemarin ia menahan lapar. Pagi ini, ia bisa makan. Â
Sementara itu, sang roti bernyanyi tralala trilili.